Kredit Foto: Antara/Fakhri Hermansyah
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sekaligus Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Rizsa Idris, menilai proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) berpotensi menjadi debt trap atau jebakan utang bagi Indonesia.
Skema pembiayaan yang semula diklaim business to business (B2B) justru berujung pada keterlibatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui penyertaan modal dan penjaminan pemerintah.
Baca Juga: Proyek Kereta Cepat Disebut Turunan Kultur Politik Jawa
“Awalnya proyek ini disebut B2B, tanpa jaminan pemerintah. Tapi dalam perjalanan, negara akhirnya ikut menanggung lewat APBN. Ini menunjukkan adanya perubahan mendasar dalam pembiayaan,” kata Handi dalam webinar bertajuk “Pelajaran Ekonomi Politik dan Warisan Kebijakan Jokowi: Bagaimana Membayar Utang Kereta Cepat”, dikutip Minggu (26/10/2025).
Handi menjelaskan, mayoritas pendanaan proyek KCJB berasal dari pinjaman China Development Bank dengan bunga 2% untuk tenor 50 tahun. Namun, skema tersebut justru membuat Indonesia menghadapi risiko keuangan jangka panjang karena komitmen pembayaran bunga dan kewajiban penjaminan melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII).
“Kalau KAI gagal bayar, maka kewajiban itu otomatis ditanggung PII yang juga dibiayai negara. Ini pola debt trap yang terselubung,” ujarnya.
Menurutnya, proyek ini sejak awal sudah mengandung persoalan arah kebijakan. Handi menyoroti bahwa studi kelayakan kereta cepat sudah ada sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan rencana membangun jalur Jakarta–Surabaya sepanjang 784 km bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). Biaya yang dibutuhkan kala itu sekitar Rp100 triliun, dengan bunga pinjaman 0,1% dan masa tenggang 10 tahun.
Namun, ketika pemerintahan berganti pada 2015, arah proyek berubah total. Pemerintahan Presiden Joko Widodo memilih membangun rute Jakarta–Bandung sepanjang 150 km dengan mitra China yang menawarkan biaya lebih murah, yakni US$5,13 miliar, dan skema B2B tanpa jaminan pemerintah.
“Pilihan politik waktu itu lebih condong ke China karena dianggap cepat dan murah. Tapi ternyata justru menimbulkan beban finansial di kemudian hari,” kata Handi.
Ia juga mengingatkan bahwa Jepang menolak melanjutkan proyek karena pemerintah Indonesia tidak bersedia memberikan jaminan. Sebaliknya, China menyetujui tanpa jaminan di atas kertas, tetapi kenyataannya kini justru melibatkan APBN lewat penyertaan modal negara (PMN) dan penjaminan pinjaman.
“Jadi, yang awalnya tidak akan membebani negara, sekarang justru membebani fiskal,” tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Tag Terkait:
Advertisement