Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pro-Kontra Banjir Barang Asal China, Pemerintah Diimbau Kuatkan Industri Lokal

Pro-Kontra Banjir Barang Asal China, Pemerintah Diimbau Kuatkan Industri Lokal Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Hubungan Indonesia dan Republik Rakyat China yang telah menginjak usia 75 tahun pada 2025 masih menghadapi beberapa tantangan di tengah kemesraan yang berlangsung akhir-akhir ini. 

Selain tantangan dalam bidang keamanan, yang diakibatkan oleh sikap agresif RRC di Laut China Selatan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang masih belum ditemukan solusinya, tantangan lain yang masih dihadapi kedua negara adalah tantangan di bidang ekonomi. 

Selain investasi di bidang infrastruktur dan pertambangan yang masih menghadirkan problema di tengah peluang yang ditawarkan, antara lain dengan banjirnya tenaga kerja asal China dan hutang yang menjadi beban negara, hubungan perdagangan antara China dan Indonesia juga diwarnai dengan banjir barang dengan harga murah.

Kondisi ini berpotensi menghantam industri dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia, serta membawa dampak bagi tenaga kerja lokal yang bisa kehilangan pekerjaan bila industri mereka kalah bersaing dengan produk asal China. 

Hadirnya isu di atas menjadi latar belakang bagi penyelenggaraan seminar bertajuk “Strategi Tiongkok Mencari Pasar: Tantangan dan Peluang Bagi Indonesia” yang berlangsung di Kampus Pascasarjana Universitas Paramadina, Jakarta. 

Baca Juga: Xi Jinping Bilang China dan AS Telah Temui Kesepakatan Penting ini

Direktur Paramadina Asia Pacific Institute (PAPI), Peni Hanggraini, mengungkapkan misi PAPI untuk membangun dialog dan pengetahuan untuk Diplomasi Asia dan Pasifik. Dosen Jurusan Hubungan Internasional itu mengevaluasi hubungan China-Indonesia saat ini dengan menengok ke belakang, ketika sosok Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming mengunjungi Indonesia pada abad ke-15. 

Melalui misi pelayaran Laksamana Zheng He ke berbagai wilayah Asia, termasuk Indonesia, China melangsungkan diplomasinya tidak dengan kekuatan militer. “Dulu hubungan ini terjalin melalui pelayaran dan pertukaran barang seperti sutra, keramik, rempah-rempah serta budaya; kini telah berkembang menjadi kerja sama di bidang perdagangan, investasi, dan teknologi. Bagaimana Indonesia menghadapi ini sebagai tantangan sekaligus peluang merupakan hal penting untuk dikaji,” ujar Peni. 

Sementara itu, Ketua FSI, Johanes Herlijanto, menyampaikan pentingnya memperhatikan dan mencari solusi bagi fenomena banjir barang asal China karena ini berdampak pada kemandirian bangsa.

“Kehadiran barang dari China dengan harga yang sangat kompetitif bukan hanya berdampak pada industri lokal, usaha kecil, mikro dan menengah, serta tenaga kerja yang harus menghadapi kehilangan pekerjaan akibat perusahaan tempat mereka bekerja kalah bersaing, tetapi juga pada potensi ketergantungan masyarakat Indonesia pada barang asal China. Ini pada gilirannya dapat mengganggu kemandirian bangsa,” ujar Johanes juga menjadi dosen pada jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan itu. 

Ekonom sekaligus Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha LPEM FEB Universitas Indonesia, Mohammad Dian Revindo, menjelaskan mengapa barang-barang asal RRC menjadi sangat murah. Ia menyoroti beberapa strategi yang dilaksanakan oleh negara itu untuk menekan biaya produksi, antara lain melalui taktik pelemahan mata uang mereka. 

“Tiongkok menahan apresiasi (peningkatan harga) RMB (renminbi atau yuan) melalui intervensi pasar dan akumulasi devisa besar, menjaga harga ekspor tetap rendah dan daya saing global tinggi,” ujar Revindo. 

Selain itu, ia menuturkan bahwa Tiongkok juga menekan tenaga kerja melalui kebijakan pro-pekerja dan lemahnya serikat buruh. “Ini aneh, karena di negara sosialis tetapi serikat buruh justru lemah,” katanya. 

Selain itu, ia menuturkan bahwa Belt and Road Initiatif berperan sangat penting bagi China untuk menjaga harga barangnya murah, karena melalui proyek ini negara ini memperluas pasar dan menyalurkan kelebihan produksi industri ekspor. 

Revindo juga menyoroti aksi dumping yang dilakukan oleh China. “China menerapkan praktik dumping dengan menetapkan harga rendah pada produk garmen, frit, lisin, dan kaca, sehingga produk impor menjadi lebih diminati oleh konsumen Indonesia,” ujarnya. 

Ia juga menjelaskan tantangan yang dihadapi Indonesia akibat banjir barang dari China, yaitu tekanan pada industri lokal dan disrupsi tenaga kerja (PHK), ketergantungan impor, dan dominasi perdagangan elektronik (E-Commerce) asing di Indonesia. Ia pun menyoroti peningkatan impor ilegal asal China yang berpotensi mengganggu perekonomian Indonesia. 

Baca Juga: Selain China, Investor Korea dan Eropa Lirik Proyek DME RI

Sebagai respons terhadap tantangan-tantangan di atas, Revindo menegaskan bahwa Indonesia harus dapat bersaing dengan produk-produk impor. Menurutnya, agar produk Indonesia dapat bersaing diperlukan konsistensi dalam kebijakan industri dan investasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta penguatan riset dan inovasi domestik. 

“Indonesia harus belajar dari disiplin strategis China, tanpa kehilangan jati diri dan arah kebijakan nasionalnya,” kata Revindo. 

Sementara itu, Wakil Ketua Komite Tetap Konektivitas Sosial Budaya Bidang Infrastruktur Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Yen Yen Kuswati, menyampaikan bahwa kerja sama dengan China sebenarnya membawa dampak positif bagi Indonesia. Namun, ia juga menyampaikan sisi negatif yang tak kalah penting untuk diperhatikan, khususnya terkait membanjirnya produk-produk dari negara tersebut.

“Persaingan harga barang asal China menekan pelaku usaha lokal, berpotensi menyebabkan ketergantungan pada impor dan defisit neraca perdagangan, pergeseran nilai budaya dan pola konsumsi masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi yang tidak merata,” ujarnya.

Laode Ikrar Hastomi dari Kementerian Perindustrian menyoroti kontribusi besar sektor manufaktur dalam memperkuat perekonomian nasional. Ia menekankan pentingnya investasi pada oil and gas processing, ekspor, serta penguatan industrial workforce

Trade balance industri manufaktur Indonesia kini mencatatkan surplus, dan kawasan industri seperti Morowali di Sulawesi Tengah berperan besar dalam transformasi menuju industri 4.0,” katanya. 

“Kawasan ini menjadi episentrum investasi berbasis nikel yang berorientasi ekspor, sekaligus memperlihatkan bagaimana kerja sama investasi dengan China dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,” jelasnya.  

Baca Juga: Ekonom: China Akan Terapkan Kebijakan Fiskal dan Moneter Lebih Longgar

Namun, ia juga memaparkan adanya kerugian dalam neraca perdagangan antara Indonesia dengan China. “Pada 2024, ekspor Indonesia ke China mencapai 62,44 miliar Dolar Amerika Serikat (USD), sedangkan impor dari China ke Indonesia mencapai 72,73 miliar USD," ujarnya.

Ini memperlihatkan kesenjangan neraca ekspor-impor Indonesia-China sebesar US$10 miliar di tahun yang lalu. Meski demikian, ia menegaskan bahwa kerugian tersebut berpotensi menurun sebagai hasil dari program hilirisasi oleh Pemerintah Indonesia. 

Sementara itu, perwakilan dari IPTI, Septeven Hwang, menyampaikan bahwa IPTI sebagai muda-mudi Tionghoa Indonesia bersifat Indonesia sentris. "Secara etnis kita Tionghoa, tapi nasionalisme kita adalah Indonesia dan kita akan membela national interest Indonesia, dalam hubungan bilateral Indonesi-China," tuturnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Belinda Safitri

Advertisement

Bagikan Artikel: