Kredit Foto: Istimewa
Sekretaris Jenderal Indonesia Food Security Reform (IFSR), Isyraf Madjid menilai perdebatan politik yang mengiringi pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak seharusnya mengaburkan tujuan utama program, yakni memastikan anak-anak Indonesia mendapat asupan gizi yang layak setiap hari.
Menurut Isyraf, Indonesia memiliki rekam jejak positif dalam menjalankan program sosial berskala besar lintas pemerintahan seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan program vaksinasi COVID-19, yang mampu melampaui sekat politik berkat tata kelola dan komunikasi publik yang baik.
Baca Juga: Dapur MBG Wajib Higienis, BGN Dorong Sertifikasi Nasional
“Program MBG memiliki skala yang sangat besar, sehingga membutuhkan tata kelola yang rapi dan transparan,” ujar Isyraf, dilansir Rabu (12/11).
Pemerintah mengalokasikan Rp171 triliun dalam APBN 2025 untuk pelaksanaan MBG, dengan target penerima manfaat sebanyak 82,9 juta orang dan pengoperasian sekitar 30.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh Indonesia. Hingga 29 Oktober 2025, tercatat 13.514 SPPG telah aktif beroperasi.
Namun, dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah insiden keracunan pangan di beberapa provinsi memicu desakan dari masyarakat sipil agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh. Pemerintah merespons dengan memperketat standar operasional, menutup dapur yang tidak layak, dan melarang penggunaan pangan olahan.
Isyraf menilai sebagai program prioritas nasional, keberhasilan maupun kegagalan MBG kerap ditarik ke ranah politik.
“Skala anggaran yang besar membuat perhatian publik terpusat pada siapa yang memasak, memasok, dan mengawasi. Akibatnya, narasi publik sering lebih fokus pada pembelaan politik ketimbang data dan perbaikan sistemik,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya transparansi dan konsistensi tata kelola dalam pelaksanaan MBG, dengan mencontohkan praktik global di Amerika Serikat, India, dan Brasil. Menurutnya, negara-negara tersebut berhasil menurunkan tensi politik dengan tata kelola yang terbuka dan pengawasan publik yang kuat.
Isyraf mengusulkan agar administrasi MBG mengadopsi standar minimum nasional yang dijalankan pemerintah daerah, dengan ekspansi bertahap mengikuti kesiapan daerah. Kriteria kesiapan harus dipublikasikan secara terbuka dan mencakup sertifikasi dapur, audit rantai pasok, serta kemampuan rantai dingin.
Ia juga menyarankan agar data operasional MBG dipublikasikan secara berkala melalui dasbor per kabupaten/kota, mencakup hasil uji keamanan pangan, daftar dapur yang ditutup, identitas pemasok, serta tindak koreksi dan korektif yang telah dilakukan.
Untuk pengawasan, Isyraf mendorong kolaborasi antara Badan Gizi Nasional, auditor independen dari perguruan tinggi, LSM dan komite orang tua dengan sistem rotasi lintas provinsi. Di sisi operasional, rantai pasok disarankan melibatkan koperasi petani lokal di bawah standar nasional keamanan pangan.
Lebih lanjut, Isyraf menilai keberhasilan MBG sebaiknya diukur dari hasil pada anak, seperti tingkat anemia, kehadiran di sekolah dan capaian belajar, bukan sekadar jumlah porsi yang dibagikan.
“Memberi makan bergizi kepada anak adalah hal paling tidak kontroversial yang bisa dilakukan pemerintah. Jika dijalankan secara transparan dan konsisten, perdebatan politik akan mereda dengan sendirinya,” katanya.
Isyraf menutup dengan optimisme bahwa, seperti program kesejahteraan lain di masa lalu, MBG berpotensi menjadi bagian dari kontrak sosial baru antara negara dan masyarakat.
Baca Juga: Gaji Petugas MBG Belum Dibayar, Begini Kata BGN
“Ketika satu generasi anak diberi makan bergizi dengan baik, dua dekade kemudian akan lahir masyarakat yang lebih sehat dan siap bekerja,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement