Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

‎Wamenkes RI dan Timor Leste Bahas Kerja Sama Kesehatan Mental dan Transformasi Digital di Forum FKM UI

‎Wamenkes RI dan Timor Leste Bahas Kerja Sama Kesehatan Mental dan Transformasi Digital di Forum FKM UI Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) kembali menegaskan perannya sebagai pusat pengembangan isu kesehatan global melalui penyelenggaraan International Seminar on Current Issues in Public Health – Series 7 bertajuk “Next-Gen Health: Tech, Safety, Mental Health & Community for a Resilient Future”. 

‎Seminar internasional ini digelar secara hybrid melalui Zoom, YouTube Live, serta luring terbatas di Kampus UI Depok, Sabtu (6/12/2025).

‎Kegiatan ini menghadirkan dua pejabat kesehatan dari kawasan Asia Tenggara, yakni Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD-KEMD, Ph.D, serta Wakil Menteri Operasionalisasi Rumah Sakit Kementerian Kesehatan Republik Demokratik Timor-Leste, dr. Flávio Brandão M. de Araújo, PGDA, M.Med. Keduanya memberikan sambutan pembuka sekaligus menegaskan pentingnya penguatan kerja sama regional dalam promosi kesehatan mental, transformasi digital, keselamatan kerja, dan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI).

‎Dalam paparannya, Prof. Dante menekankan bahwa promosi dan pencegahan kesehatan mental harus dimulai dari lingkup terkecil, yakni keluarga dan komunitas. Menurutnya, peran perguruan tinggi juga sangat strategis dalam pengembangan riset dan inovasi kebijakan kesehatan mental.

‎“Kita masih melihat tingginya angka suicide di Indonesia. Sekitar 2 persen anak usia di atas 15 tahun mengalami depresi, sebagian juga mengalami psikosis. Bahkan, 4 dari 1.000 keluarga memiliki anggota keluarga dengan masalah kesehatan mental,” ungkap Prof. Dante.

‎Ia menegaskan bahwa penanganan kesehatan mental tidak bisa dilakukan secara instan. Dibutuhkan proses transisi yang matang dan pendekatan yang adaptif.

‎“Pendekatan ini tidak bisa dilakukan secara langsung, kadang-kadang butuh transisi dan butuh effort yang cerdas,” tegasnya.

‎Sebagai bagian dari transformasi layanan kesehatan, Kementerian Kesehatan RI kini memperluas akses layanan kesehatan mental melalui pendekatan digital. Menurut Prof. Dante, layanan digital mampu menjangkau kelompok masyarakat yang selama ini tertutup dan enggan menyampaikan masalah secara langsung.

‎“Dengan model digital, mereka yang biasanya tertutup untuk mengungkapkan masalahnya ke orang lain, ini akan jauh lebih baik,” katanya.

‎Wujud konkret dari kebijakan tersebut adalah peluncuran layanan Healing 119, sebuah kanal layanan kesehatan mental gratis yang dapat diakses melalui WhatsApp maupun telepon.

‎“Di dalam Healing 119 mereka boleh WhatsApp, mereka boleh telepon secara gratis, sehingga mereka bisa curhat,” ujar Prof. Dante.

‎Respons masyarakat terhadap layanan ini terbilang sangat tinggi. Dalam kurun tiga bulan sejak peluncurannya, jumlah akses telah menembus 10.000 pengguna.

‎“Dalam waktu tiga bulan saja, kunjungannya sudah 10.000 lebih. Bayangkan, itu adalah mereka-mereka yang benar-benar curhat dan memiliki masalah di dalam dirinya,” imbuhnya.

‎Kesehatan Holistik dan Tantangan Generasi Digital

‎Prof. Dante juga menekankan pentingnya konsep kesehatan holistik yang mencakup kesehatan fisik, mental, dan sosial.

‎“Kesehatan holistik itu adalah kesehatan fisik, mental, dan sosial. Dengan pendekatan seperti ini, kesehatan mental bisa kita selesaikan untuk masa ini,” jelasnya.

‎Ia juga menyoroti dampak besar penggunaan gawai terhadap kesehatan mental anak dan remaja. Data menunjukkan sekitar 80 persen anak usia 7–17 tahun telah menggunakan gadget.

‎“Yang menggunakan gadget itu anak dari umur 7 sampai 17 tahun kira-kira 80 persen, dan di antaranya sudah mengalami kendala dalam kesehatan mentalnya,” ungkap Prof. Dante.

‎Karena itu, transformasi edukasi kesehatan mental dari metode konvensional ke digital dinilai sebagai langkah strategis.

‎“Dengan memindahkan area edukasi yang konvensional menjadi digital, mudah-mudahan ini menjadi salah satu terobosan untuk melakukan intervensi kesehatan mental di masa yang lebih tepat,” tambahnya.

‎Layanan Healing 119 juga diperkuat oleh tenaga profesional, mulai dari psikolog hingga tenaga medis yang siaga memberi respons cepat.

‎“Setelah mereka curhat, ada jawabannya. Ada konsultasi psikolog, diolah oleh psikolog dan tenaga medik. Kita sudah stand by di Kementerian Kesehatan,” terang Prof. Dante.

‎Masyarakat dapat mengakses layanan ini melalui laman 119.id, lalu diarahkan untuk terhubung langsung via WhatsApp atau panggilan suara. Melalui penguatan layanan digital ini, pemerintah berharap stigma terhadap kesehatan mental semakin berkurang dan masyarakat semakin berani mencari bantuan.

‎Tantangan Kesehatan Mental Timor Leste: Warisan Trauma Konflik

‎Di kesempatan yang sama, Wakil Menteri Kesehatan Timor Leste, dr. Flávio Brandão M. de Araújo, mengungkapkan bahwa persoalan kesehatan mental di negaranya mayoritas merupakan dampak trauma pascakonflik puluhan tahun silam.

‎“Kesehatan mental di Timor Leste sebenarnya lebih banyak kita lihat dengan isu-isu post-konflik, post-konflik trauma. Hari ini baru kami panen hasil dari trauma waktu itu, yang kejadiannya mungkin 20 tahun lalu, 30 tahun lalu,” papar dr. Flávio.

‎Secara statistik, ia mengakui angka gangguan kesehatan mental di negaranya masih relatif dalam batas normal dibandingkan Indonesia, karena perbedaan jumlah populasi.

‎“Data dia tidak separah di Indonesia, karena populasi Indonesia memang terlalu besar untuk dibandingkan dengan negara sekecil Timor Leste. Tapi yang kita ada adalah nomor yang masih dalam batas-batas normal,” jelasnya.

‎Meski demikian, ia menilai Indonesia memiliki keunggulan besar dari sisi sumber daya.

‎“Saya percaya karena populasi yang begitu besar, sumber daya yang ada di Indonesia juga begitu masif, sehingga bisa menjawab tantangan masalah kesehatan mental lebih bagus dibanding dengan Timor Leste,” tambahnya.

‎Timor Leste, menurut dr. Flávio, tidak mengandalkan pendekatan medis semata dalam menangani kesehatan mental. Intervensi dilakukan melalui keluarga dan komunitas kecil.

‎“Dokter itu ditempatkan di keluarga, di komunitas kecil, supaya mengerti status mental setiap keluarga. Status ekonominya, status kemakmurannya,” katanya.

‎Menurutnya, persoalan sosial dan ekonomi yang tidak ditangani akan memperparah masalah kesehatan mental.

‎“Model yang di Timor Leste itu untuk kesehatan mental sedikit kompleks, tidak seperti biasanya,” ujarnya.

‎Selain itu, Timor Leste juga membutuhkan tenaga psikoterapis dalam jumlah besar untuk memperkuat intervensi individu dan masyarakat.

‎“Yang kita butuh itu psikoterapis, yang tahu bagaimana mengintervensi di individu dan komunitas. Karena banyak yang datang ke rumah sakit, secara fisik sehat, tapi masalahnya ada di mental,” ungkap dr. Flávio.

‎Dalam penguatan layanan kesehatan mental, Timor Leste juga menjalin kerja sama dengan Indonesia, baik dalam supportive care maupun palliative care. Namun, dr. Flávio menyebut kesehatan mental masih menjadi wake up call dalam pembangunan negaranya.

‎“Ini sesuatu yang kita lupa. Tapi ini wake up call, supaya kita melihat kembali bahwa ternyata masalah mental itu kita lupa intervensi dalam perjalanan kita sebagai negara,” tuturnya.

‎Ia juga berharap mahasiswa Timor Leste yang menempuh pendidikan di Indonesia, khususnya di Universitas Indonesia, dapat membawa perubahan perspektif.

‎“Kami berharap teman-teman yang lagi kuliah di UI, pola pikirnya berubah. Jangan hanya seperti rutinitas yang ada di Indonesia, tapi lihatlah kembali persoalan di dalam negeri, karena mereka hidup tiap hari dengan itu,” ujarnya.

‎Lebih lanjut, ia menekankan urgensi pengembangan psikiatri dan psikologi sosial serta pemanfaatan AI untuk membantu screening dan intervensi kesehatan mental berbasis komunitas.

‎Sebagai informasi, seminar internasional ini menghadirkan pemateri dari Amerika Serikat, Malaysia, Australia, dan Timor Leste dengan bahasan mulai dari AI untuk mental health, keselamatan kerja digital, manajemen kelelahan kognitif tenaga kesehatan, hingga transformasi kesehatan berbasis komunitas.

‎Kegiatan ini merupakan inisiatif mahasiswa Program Doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI angkatan 2025, sekaligus menegaskan peran generasi akademisi muda Indonesia dalam diplomasi kesehatan global dan pengembangan kebijakan berbasis ilmu pengetahuan.

‎Seminar ini juga relevan dengan penyusunan Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) 2025–2029 yang mendorong sistem kesehatan nasional yang tangguh, inklusif, dan berorientasi masa depan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: