- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Imbas Mandatori Biodiesel, Indonesia 'Kelebihan' Produksi Solar 7,4 Juta KL
Kredit Foto: Gapki
Indonesia kini menghadapi kondisi dilematis berupa kelebihan produksi solar di dalam negeri, dengan estimasi surplus mencapai 7,4 juta kiloliter (kl) per tahun. Kelebihan pasokan ini terjadi pasca-penerapan mandatori biodiesel B40, yang mencampur 40 persen bahan bakar nabati (BBN) berbahan baku minyak kelapa sawit ke dalam solar.
Senior Director Oil and Gas, Petrochemical BPI Danantara Indonesia, Wiko Migantoro, mengungkapkan hal ini dalam acara Rembuk Energi dan Hilirisasi 2025 di Jakarta, Rabu (10/12/2025).
Wiko menjelaskan bahwa saat ini, kapasitas produksi solar dalam negeri mencapai 25,5 juta kl, ditambah produksi biofuel sebesar 12,4 juta kl per tahun. Sementara itu, kebutuhan solar domestik hanya berada di angka 30,5 juta kl per tahun.
“Solar, saat ini kapasitas produksi kita tuh sudah melebihi demand domestik. Dengan B40, dengan B35 sebelumnya, itu imbang, tidak ada excess produksi. Namun dengan diterapkan B40, kita memiliki kapasitas yang lebih untuk solar. Atau sekitar, kalau saya hitung-hitung tuh jumlahnya sekitar 7 juta kiloliter excess solar,” ujar Wiko.
Wiko, yang pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero), menyebut kondisi ini sebagai hal yang dilematis. Hal ini berkaitan dengan sifat alami dari pengolahan minyak mentah (crude oil) di kilang yang tidak bisa difokuskan hanya pada satu produk.
“Mungkin perlu saya infokan ke teman-teman sekalian ya, bahwa ketika memproduksikan suatu produk dari crude oil, kamu tidak bisa memilih 'ini untuk produksi gasoline saja' atau 'solar saja',” jelasnya.
Sekali crude oil diolah, kilang akan menghasilkan empat produk utama secara bersamaan: solar (sekitar 35-40 persen), gasoline atau bensin (persentase sama), avtur, dan LPG.
Baca Juga: Pertamina Gunakan Metode Sling Load untuk Percepat Pasokan LPG ke Bener Meriah
“Artinya ketika RI ingin menaikkan produksi gasoline atau bensin maka otomatis produksi solar juga akan meningkat,” tambahnya.
Dilema ini lantas membebani badan usaha di sektor hilir seperti Pertamina. Jika mereka memaksimalkan kapasitas produksi kilang, mereka harus mampu memasarkan kelebihan produk solar ini ke luar negeri.
Badan Usaha Swasta Masih Impor 4,8 Juta KL
Di tengah kelebihan produksi BUMN, Wiko menyoroti adanya kontradiksi di sektor niaga domestik.
“Di anak usaha kita di Pertamina, anak usaha Danantara, mereka mengalami sesuatu yang dilematis. Artinya kalau dia memproduksikan, memaksimalkan kapasitas produksinya, maka dia juga harus bisa memasarkan kelebihan produk solar yang mana ini harus dipasarkan ke luar negeri,” ungkapnya.
“Hari-hari ini kami sedang propose ke pemerintah untuk melihat bagaimana tata kelola solar yang baik. Karena di saat kita sekarang sedang ada kelebihan kapasitas produksi untuk kilang, di saat yang bersamaan badan usaha swasta itu masih melakukan impor solar. Jumlahnya sekitar 4,8 juta kiloliter.”
Baca Juga: Soal Impor LPG Tanpa Lelang ke Indonesia, Bahlil: Tanya ke Menko Perekonomian
Menurut Wiko, terdapat peluang besar untuk meningkatkan kapasitas kilang domestik jika kesenjangan antara kelebihan pasokan BUMN dan kebutuhan impor swasta dapat dipertemukan, baik dalam konteks kualitas maupun komersial.
“Artinya kalau kedua gap ini bisa dipertemukan dalam konteks kualitas dan komersial, tentunya ini bisa meningkatkan kapasitas kilang domestik,” tutup Wiko.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement