Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

A. Prasetyantoko: Likuiditas, Suku Bunga dan Kebijakan Subsidi

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta- Paska pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang kemenangan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014-2019, pasar nampak bergairah. Sehari setelah pengumuman (23/7), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Bursa Efek Indonesia (BEI) naik 0,2 persen menuju level 5,093. Dibandingkan dengan pembukaan di awal bulan, IHSG telah mengalami penguatan sebesar kurang lebih 4 persen. Dan bila dibandingkan dengan kinerja awal tahun, IHSG telah menanjak hampir 20 persen.

Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun berada pada posisi 8,05 persen. Dibandingkan dengan posisi awal tahun telah mengalami penurunan sekitar 40 basis poin. Demikian juga dengan nilai tukar yang berada pada Rp 11.505 per dolar AS atau mengalami penguatan sekitar 1 persen dibandingkan kinerja sehari sebelumnya.  Nampaknya, transisi politik yang dianggap tak menyisakan persoalan serius menjadi momentum kegairahan investor. Dan likuiditas pun mengalir deras ke pasar domestik. Tapi bagaimana dengan likuiditas di sektor perbankan?

Nampaknya sektor perbankan hingga akhir tahun belum akan keluar dari perangkap ketatnya likuiditas. Pertumbuhan kredit terus terkoreksi dan kinerja sektor perbankan tak terlalu menggembirakan. Pada kuartal II tahun ini beberapa bank mulai merevisi target pertumbuhan kreditnya, sehingga laba (net interest margin) juga tak tumbuh seperti yang diharapkan.  Dan itu menjadi leading indicator bagi prospek makro yang juga tak bisa terlalu diharapkan.

Pengetatan Likuiditas

Meski di pasar terjadi euphoria terkait dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden baru, tetapi sebenarnya situasi fundamental ekonomi kita tak begitu menggembirakan. Inflasi memang rendah, tapi harus “dibayar” dengan (trade-off) subsidi energi yang terus membengkak. Oleh karena itu, harus ada sikap terhadap pembengkakan subisi tersebut, apalagi di tengah-tengah risiko defisit anggaran yang berpotensi melanggar undang-undang (defisit melebihi 3 persen PDB/produk domestik bruto).

Pemerintah baru nanti sudah pasti harus mengurangi subsidi, sehingga harga dipastikan naik. Jika harga BBM naik, inflasi pasti melonjak. Dan kenaikan inflasi biasanya diikuti dengan respons pengetatan kebijakan moneter. Tekanan pada suku bunga bukan saja dari potensi kenaikan inflasi akibat pengurangan subsidi, namun juga dari sisi neraca eksternal kita.

Meskipun neraca perdagangan Mei mencatat surplus US$69,9 juta, tetapi potensinya untuk tertekan masih cukup besar. Pasalnya, persoalan fundamental pada neraca perdagangan kita masih belum terjadi perbaikan penting. Struktur ekspor kita masih tetap didominasi oleh komoditas primer, sementara daya saing produk manufaktur (non-migas) belum meningkat. Dari sisi impor, bahan baku dan barang modal menguasai lebih dari 90 persen impor kita. Sementara impor BBM juga menjadi beban tersendiri dari neraca perdagangan kita.

Akibat rapuhnya struktur neraca perdagangan tersebut, potensi terjadinya defisit masih terus terjadi. Neraca barang  selama ini menjadi andalan untuk menopang neraca transaksi berjalan kita, mengingat neraca jasa dan neraca pendapatan kita mengalami tekanan yang sifatnya struktural juga. Dalam sejarahnya, neraca jasa belum pernah surplus. Selama ini neraca jasa selalu defisit dan disumbang oleh jasa asuransi dan pengapalan. Begitupun neraca pendapatan (income) yang semakin hari semakin besar defisitnya. Artinya, lebih banyak kita membayar pihak luar ketimbang memperoleh dari pihak luar kepada kita. Semakin tinggi investasi asing, semakin besar kewajiban kita membayar pada pihak asing.

Dalam struktur neraca transaksi berjalan yang begitu tergantung pada neraca barang, ketidakmampuan kita mencetak surplus perdagangan menjadi ancaman serius. Neraca transaksi berjalan yang berisi neraca barang, jasa dan pendapatan cenderung akan mengalami tekanan defisit yang bersifat struktural. Artinya posisi defisitnya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sifatnya jangka panjang, tak sekadar siklus musiman saja.

Pada kuartal II tahun lalu, kita mengalami defisit cukup besar, yaitu US$9,9 miliar atau setara dengan 4,4 persen terhadap PDB. Tahun ini, pada kuartal yang sama, defisit neraca transaksi berjalan sekitar US$9 miliar atau 4 persen terhadap PDB. Tak ada perubahan signifikan. Dan kita masih ingat, akibat besarnya angka defisit ini, investor bereaksi cukup keras, sehingga terjadi pelarian modal keluar cukup besar. Nilai tukar terpuruk, indeks pasar longsor dan biaya penerbitan surat utang, baik pemerintah maupun korporasi melejit. Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) tak bisa diturunkan dari 7,5 persen.

Jika tahun lalu ada gejolak yang diakibatkan oleh pengurangan stimulus The Fed (tapering off), tahun ini investor dibayang-bayangi oleh ketakutan kebijakan kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat (AS) Fed fund rates. Poinnya adalah meskipun ada perubahan fundamental politik, namun fundamental ekonomi, baik dari sisi domestik maupun global ancamannya masih cukup besar. Dan bayang-bayang gejolak seperti terjadi pertengahan 2013 lalu masih berpotensi terjadi. Dalam situasi seperti inilah pemerintah baru nanti mulai bekerja.

Suku Bunga Acuan

Presiden dan wakil presiden baru memiliki target untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dengan cara mendorong perkembangan sektor-sektor dalam ekonomi. Pertanyaannya, apakah suku bunga memungkinkan sektor perekonomian tumbuh? BI rate memang berada pada 7,5 persen, namun LPS rate 7,75 persen. Hal ini menandakan, tengah terjadi kekeringan likuiditas di sektor perbankan kita.

Survei Perbankan BI terakhir pada kuartal II 2014 menunjukkan pengetatan sektor perbankan masih akan terus berlanjut di kuartal III. Para responden di hampir semua bank masih berekspektasi pertumbuhan kredit tahun ini sebesar 18 persen atau lebih tinggi dari target BI 15-17 persen. Namun pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) diperkirakan hanya sekitar 12 persen saja tahun ini. Pertanyaannya, dari mana ekspansi kredit dibiayai, jika bank terus kesulitan mencari likuiditas dari DPK? Itu salah satu pertanyaan paling penting bagi sektor perbankan sepanjang tahun ini.

Mengingat ketatnya likuiditas, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jauh lebih pesimis ketimbang BI dengan mengatakan sepanjang tahun ini pertumbuhan kredit hanya sekitar 10 persen saja. Jika benar kredit hanya tumbuh 10 persen, pertanyaannya berapa investasi yang bisa diciptakan dan kemudian berapa pertumbuhan ekonominya? Di sinilah letak dilema itu. Di satu sisi, pemerintah baru bersemangat mendorong pertumbuhan, tapi kenyataannya harus berhadapan dengan fakta empiris yang tak terlalu menggembirakan.

BI rate hingga akhir tahun ini sulit diturunkan bahkan berpotensi naik. Potensi kenaikan terjadi karena dua hal, yaitu faktor domestik terutama terkait rencana kenaikan harga BBM serta faktor global terkait rencana kenaikan Fed fund rates.  Pada 2013 lalu, kita membuat blunder kebijakan tatkala kebijakan kenaikan BBM hampir bertepatan dengan kebijakan The Fed menarik paket stimulusnya. Akibatnya, kita terjerembab menjadi salah satu dari lima negara yang paling rapuh (the Fragile Five) menurut versi Morgan Stanley.

Tentu kita tak mau terpuruk dengan alasan yang sama, maka dari itu tim ekonomi pemerintah baru harus sangat berhati-hati merancang kebijakan terutama terkait beban fiskal dan potensi inflasi akibat pengurangan subsidi BBM di awal tahun depan.

 

A. Prasetyantoko

Pengamat Ekonomi dan Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta

Sumber: Majalah Warta Ekonomi No 15 tahun 2014

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Arif Hatta

Advertisement

Bagikan Artikel: