Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Komisi VI: Pertumbuhan Ekonomi di Era Jokowi Paling Jeblok

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta- Ketua Komisi VI DPR Achmad Hafisz Tohir menilai capaian pertumbuhan ekonomi di era Presiden Joko Widodo di Kuartal I 2015 merupakan angka yang paling lambat dibandingkan era sebelumnya sejak 2009. Politisi PAN itu menilai di kuartal pertama capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,7 persen. Hal itu juga merupakan revisi atas proyeksi sebelumnya sebesar 5,2 persen.

"Lambatnya pertumbuhan ekonomi berimbas pada turunnya ketersediaan lapangan kerja baru untuk usia produktif dan tingkat pengangguran pun meningkat karena banyak pekerja yang dirumahkan akibat pengurangan produksi perusahaan," kata Hafisz di Jakarta, Jumat (31/7/2015).
 
Kondisi ini diperparah dengan turunnya jumlah investasi yang masuk, baik dari penanaman modal dalam negeri maupun luar negeri. Daya beli masyarakat juga dikritik mengalami penurunan terutama di sektor konsumsi, yang mengakibatkan turunnya pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
 
"Efek berantai berikutnya adalah pertumbuhan kredit melambat. Tingkat inflasi terus naik dalam beberapa bulan terakhir khususnya Mei-Juni yang berada di level 7 persen serta berpotensi terus bergerak ke posisi psikologis sebesar 10 persen, karena harga pangan semakin mahal dan terus merangkak naik," imbuhnya.
 
Hafisz mengimbau, tim ekonomi pemerintah bergerak cepat dengan memaksimalkan seluruh potensi belanja APBN yang lebih dari Rp 2000 triliun. Hal itu bertujuan untuk mendorong kembali pertumbuhan ekonomi yang mengalami perlambatan di kuartal pertama tahun ini. Untuk itu, pembangunan infrastruktur mesti dipercepat seperti jalan tol, pelabuhan, rel kereta ganda, dan bandara baru dengan melibatkan BUMN dan swasta dalam pendanaan dan pengerjaan.
 
Dia juga berharap agar Presiden memperhatikan figur-figur terbaik di kabinetnya untuk mengelola perekonomian nasional. figur yang dimaksud, lanjut Hafisz, adalah yang kuat, petarung, dan dipercaya pasar sehingga diharapkan timbul kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia.
 
"Tidak seperti saat ini yang sedikit-sedikit ngutang ke luar negeri. Hal ini membuat rupiah semakin tertekan. Mazhab bahwa utang luar negeri sebagai jalan untuk memacu pertumbuhan ekonomi baru yang diimani dan dianut oleh pemerintah perlu dikritisi," nilai Hafisz.

Ditambahkannya, selama delapan bulan berkuasa, pemerintah telah meminjam dana dari World Bank senilai US$ 12 miliar atau setara Rp143 triliun dan dari Tiongkok Rp650 triliun. Belum lagi, pemerintah juga telah meminjam dana dari IDB sebesar Rp66 triliun. Bahkan, pemerintah telah menjual surat utang negara (SUN) dalam valuta asing berdenominasi euro seri rieuro725 senilai 1,25 miliar euro dengan tenor 10 tahun pada Kamis 23 Juli lalu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ferry Hidayat
Editor: Achmad Fauzi

Advertisement

Bagikan Artikel: