Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pimpinan: Revisi UU KPK Belum Tepat Waktu

Warta Ekonomi -

Revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak tepat waktu untuk diajukan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 dan mengancam eksistensi lembaga antirasuah itu.

"Revisi ini belum tepat waktunya, karena selain iklim politik ini akan berdampak pada eksistensi KPK terhadap revisi ini," kata Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji di Jakarta, Rabu (7/10/2015).

Revisi UU KPK sebenarnya masuk dalam Prolegnas 2016 untuk usulan insiatif pemerintah, namun saat ini diusulkan masuk menjadi RUU Prioritas Prolegnas 2015 dan menjadi inisiatif DPR yang diajukan oleh 6 fraksi DPR yaitu fraksi PDI-Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Golkar, PPP, Partai Hanura dan PKB.

"Alasannya terutama karena keberadaan lembaga KPK adalah basis kekhususan kelembagaan, baik struktur, kewenangan maupun teknis ketentuannya. Revisi ini tegas jelas mengamputasi wewenang khusus lembaga KPK menjadi 'public state institution'," tambah Indriyanto.

Apalagi berdasarkan karakter khusus penindakan KPK menurut pasal 44 UU KPK, tahap penyelidikan (lidik), sehingga bila tidak ada bukti permulaan cukup dengan minimun 2 alat bukti.

"Maka pada tahap lidik, suatu kasus dapat dihentikan lidiknya dan ini berarti tidak perlu ada pengaturan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) di tahap penyidikan," tambah Indriyanto.

Ia berharap agar Presiden Joko Widodo tetap berkomitmen untuk tetap menolak pembahasan revisi UU KPk sehingga Menteri Hukum dan HAM diharapkan mematuhi perintah Presiden.

Perlu sinkronisasi "Revisi UU KPK sangat tergantung dengan sinkronisasi dengan pembahasan RUU Tipikor, KUHAP, KuHP, TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), 'asset recovery', sehingga revisi parsial akan menimbulkan timpang tindih pengaturan regulasi," ungkap Indriyanto.

Ia mencontohkan dalam RKUHP dan RKUHAP bahkan RUU Tipikor diatur tentang penyadapan baik substansi ketentuan maupun tata caranya.

"Kalau DPR memang bersikukuh untuk melakukan revisi yang berakibat pengamputasian eksistensi KPK, maka sebaiknya dipikirkan saja perlu tidaknya kelembagaan KPK di bumi tercinta ini," tegas Indriyanto.

Terdapat sejumlah kejanggalan dalam pasal-pasal revisi UU KPK yang dibagikan kepada anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam rapat pelno Baleg Selasa (6/10) yaitu: Pasal 4: KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan daya hasil guna terhadap upaya pencegahan tindak pidana korupsi Pasal 5: KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan Pasal 13 huruf b: KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp50 miiar. Huruf c: Dalam hal KPK telah melakukan penyidikan di mana ditemukan kerugian negara dengan nilai di bawah Rp50 miliar, maka wajib meneyrahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK Pasal 14 ayat (1) huruf a: KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri Pasal 22 menyatakan KPK terdiri atas: a. Pimmpinan KPK yang terdiri dari 5 anggota Komisioner KPK, b. Dewan Eksekutif yang terdiri dari 4 anggota, c. Pegawai KPK sebagai pelaksana tugas. Keterangan Dewan Eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh Presiden yang berfungsi menjalankan pelaksanaan tugas sehari-hari lembaga KPK dan melaporkannya kepada Komisioner KPK Pasal 39 ayat (1) Dalam melaksanakan tugas dan penggunaan wewenangnya KPK, maka dibentuk Dewan Kehormatan; (2) Dewan Kehormatan diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang yang tidak memenuhi standar penggunaan wewenang yang telah ditetapkan dan menjatuhkan sanksi administrasi dalam bentuk teguran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian dari pegawai KPK dan pelaporan tindak pidana yang dilakukan komisioner KPK; (3) Dewan Kehormatan bersifat ad hoc yang terdiri dari 9 anggota, yaitu 3 unsur dari pemerintah, 3 unsur aparat penegak hukum, dan 3 orang unsur masyarakat Pasal 53 ayat (1) Penuntut adalah jaksa yangberada di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sehingga KPK tidak lagi memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Achmad Fauzi

Advertisement

Bagikan Artikel: