Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketidakkonsintenan Regulasi Dinilai Ganggu Iklim Investasi Pertambangan

Ketidakkonsintenan Regulasi Dinilai Ganggu Iklim Investasi Pertambangan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pakar hukum pertambangan Universitas Hasanuddin Prof Abrar Saleng menilai ketidakkonsistenan regulasi bakal mengganggu iklim investasi sektor pertambangan di Indonesia.

Saat dihubungi di Jakarta, Jumat (31/3/2017), ia mengatakan sejumlah aturan pertambangan yakni PP Nomor 1 Tahun 2017 serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 dan Nomor 6 Tahun 2017 akan menimbulkan persoalan baru dalam investasi pertambangan.

Menurut dia, untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas investasi, sepatutnya persoalan tersebut diselesaikan dengan renegosiasi kontrak karya (KK) antara pemerintah dan perusahaan sesuai amanat Pasal 169 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Abrar, yang juga Ketua Dewan Profesor Universitas Hasanuddin, mengemukakan jika mengacu pada kasus PT Freeport Indonesia, maka hal itu menunjukkan pemerintah belum siap dan tidak konsisten menetapkan kebijakan pertambangan.

Padahal, lanjutnya, investasi dan industri pertambangan membutuhkan konsistensi, kepastian, dan perlindungan hukum dari pemerintah.

"Ketentuan beberapa pasal dalam PP dan Permen ESDM itu bertentangan dan melampaui norma dalam UU Minerba, padahal sepatutnya melaksanakan norma UU yang lebih tinggi," ujarnya.

Anggota Dewan Penasihat Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) itu juga menyoroti, sesuai Pasal 169 huruf a UU Minerba, sepatutnya pemegang KK harus dihormati sampai masa kontrak berakhir.

"Pemerintah sebaiknya mengakhiri KK dengan berdasar pada klausula dalam KK. Untuk itu, dibutuhkan konsistensi, sebab peraturan yang berubah-ubah berimplikasi negatif pada dunia investasi," ujarnya.

Renegosiasi, lanjutnya, harus dituntaskan sebagai amanat Pasal 169 huruf b UU Minerba, agar KK jangan selalu menjadi kambing hitam setiap ada peraturan atau kebijakan baru pemerintah.

Ia juga mengingatkan Pasal 17 ayat (2) dan (3) Permen ESDM, yang mengubah KK menjadi IUPK, juga tidak sejalan dengan paket deregulasi kemudahan investasi di berbagai bidang, yang menjamin dan memberi perlindungan hukum kepada calon investor maupun investor yang sudah ada dan bahkan sudah lama berinvestasi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengharapkan pemerintah dan Freeport mencari titik temu yang dilandasi "fairness" atas persoalan harga 51 persen saham divestasi.

Menurut dia, memang seluruh kekayaan yang ada di perut bumi dikuasai negara menurut konstitusi.

"Namun, dalam kasus ini, yang dimaksudkan dengan penilaian bukan dalam konteks penguasaan, dalam arti cadangan itu milik Freeport, melainkan perhitungan nilai di masa mendatang yang akan didapatkan dari investasi dan kegiatan yang dilakukan saat ini atau 'future value'," tuturnya.

Tentu saja, lanjutnya, tidak bisa diabaikan fakta bahwa telah dilakukan investasi dan proses sangat panjang serta berbiaya tinggi untuk menjadikan potensi berupa cadangan mineral menjadi realisasi yakni mineral yang bisa diolah dan dimanfaatkan.

"Jangan sampai cara berpikir seperti ini menjadi disinsentif dan preseden buruk bagi industri, karena bisa jadi ada persepsi dan kekhawatiran bagi investor bahwa di tengah jalan bisa dipaksa bernegosiasi dan melepaskan saham dengan penggantian sebesar yang dikeluarkan saja," ujarnya.

Selain itu, terkait persoalan Freeport yang masih menginginkan pajak bersifat tetap (nail down), sehingga harus menunggu Kementerian Keuangan, padahal menurut pemerintah jika ikut perpajakan saat ini (prevailing) tarif pajaknya lebih rendah dari pada kontrak karya (nail down), Yustinus melihat motif atau pertimbangan memilih "nail down" bukan semata-mata soal beban pajak, melainkan kebutuhan akan kepastian hukum di masa mendatang, karena investasi yang besar dengan risiko tinggi dan responsif terhadap dinamika politik dan hukum.

"Pemerintah sebaiknya mengubah paradigma ekonomistik yang hanya melihat kasus ini dari sisi keuntungan bisnis, bukan dari sisi kalkulasi jangka panjang untuk mendapatkan kepastian dan prediksi yang akurat tentang masa depan," katanya.

Yustinus berharap dicapai solusi yang saling menguntungkan (win win solution) yakni pemerintah mendapatkan haknya untuk kesejahteraan masyarakat dan swasta juga tetap bisa berbisnis, mendapatkan profit, dan sekaligus patuh pada aturan hukum. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: