Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Metode Menghitung Kerugian Negara Atas Kerusakan Lingkungan di Pertambangan Dipertanyakan

Metode Menghitung Kerugian Negara Atas Kerusakan Lingkungan di Pertambangan Dipertanyakan Kredit Foto: Djati Waluyo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana menilai kerusakan lingkungan di suatu daerah tambang tidak bisa otomatis disimpulkan sebagai kerugian negara dan terjadi tindak pidana korupsi.

“Buktikan dulu tindak pidana korupsinya. Kerusakan lingkungan itu biasanya merupakan dampak. Dalam kasus pencemaran atau kebakaran hutan misalnya, tidak otomatis terjadi korupsi, tapi kesalahan dalam tata kelola lingkungan,” ujar Andri dalam keterangan yang diterima, Kamis (29/2/2024). 

Sebagaimana diketahui, Kejaksaan Agung RI saat ini telah menahan dua mantan Direktur Utama PT Timah periode 2016 – 2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Keuangan PT Timah Emil ermindra serta 11 orang manajemen sejumlah perusahaan smelter timah yang beroperasi di Kepulauan Bangka Belitung. 

Para tersangka dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi dalam tata niaga timah dengan total kerugian negara mencapai Rp271 trilyun. 

Baca Juga: Belajar dari Vietnam, Pengamat: Penghapusan Pasal Jual Beli PLTS Atap Hindari Kerugian Negara

Angka tersebut, dihitung oleh pakar IPB Bambang Hero Saharjo berdasarkan kerusakan lingkungan akibat penambangan timah.

Bambang mengatakan pihaknya melakukan penghitungan kerugian ekologi yang ditimbulkan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan. 

“Kalau semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," ujar Bambang.

Baca Juga: Kena Mental Karena Hilirisasi Nikel, Sejumlah Tambang Nikel Dunia Tutup

Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ), Andri mengatakan, penghitungan harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum, kemudian harus diperiksa metodenya, lazim digunakan atau tidak, diterima dikomunitas ilmiah atau tidak.

“Ini kan bukan seperti menghitung barang atau mobil yang hilang. BPK juga belum tentu punya kemampuan untuk menghitung kerusakan lingkungan. Ada namanya teknik evalusi lingkungan dan itu ada pakarnya,” ujarnya. 

Andri menyebut, untuk menilai kasus tata niaga timah harus melihat detail kasusnya. Secara normatif, ada dua bentuk kerugian yakni kerugian negara yang berkaitan dengan APBN/ APBD dan perekonomian perekonomian negara seperti terjadi dalam kasus sawit Duta Palma Group.

“Yang pasti buktikan dulu korupsinya. Tidak berarti ada pencemaran terus ada korupsi kan. Korupsi bisa berdampak ABCD, salah satunya kerusakan lingkungan,” ucapnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: