Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hakim Hanya Gunakan Maklumat Miryam di Persidangan

Hakim Hanya Gunakan Maklumat Miryam di Persidangan Kredit Foto: Antara/Rosa Panggabean
Warta Ekonomi, Jakarta -

Majelis hakim hanya gunakan keterangan Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani saat bersaksi di persidangan, dan bukan keterangannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di tingkat penyidikan korupsi KTP-elektronik.

"Sehubungan dicabutnya BAP Miryam S Haryani di penyidikan dan keterangannya dalam BAP itu masih dipergunakan sebagai dasar penyusunan tuntutan oleh jaksa penuntut umum, menimbang BAP penyidikan pada hakikatnya hanya pedoman untuk memeriksa dan mengadili perkara bukan alat bukti maka keterangan saksi yang sah adalah keterangan di persidangan, menimbang hal itu, keterangan Miryam yang digunakan sebagai alat bukti adalah keterangan yang digunakan di persidangan," papar Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butarbutar dalam sidang pembacaan vonis di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (20/7/2017).

Padahal dalam tuntutan, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menyebutkan bahwa pencabuatan BAP Miryam tanpa disertai alasan yang sah dan logis.

Alasan JPU karena pencabuatan BAP yang disampaikan Miryam S Haryani dalam sidang 23 Maret 2017 di antaranya karena adanya tekanan dari penyidik telah terbantahkan dengan adanya keterangan penyidik KPK pada sidang 30 Maret 2017, yaitu Ambarita Damanik, M.I Susanto dan Novel, barang bukti berupa video berupa rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani serta tulisan tangan Miryam, yang pada pokoknya berisi keterangan Miryam mengenai perbuatannya mendistribusikan uang ke anggota Komisi II DPR.

Miryam saat ini pun sudah ditetapkan menjadi terdakwa yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar berdasarkan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Majelis hakim yang terdiri dari Jhon Halasan Butarbutar, Frangki Tumbuwun, Emilia, Anwar dan Ansyori Saifudin dalam perkara ini memvonis mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman divonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar denda 500 ribu dolar AS dikurangi 300 ribu dolar AS dan Rp50 juta subsider 2 tahun kurungan.

Sedangkan, terhadap mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 1 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti 50 ribu dolar AS dikurangi pengembalian 30 ribu dolar AS dan Rp150 juta subsider 1 tahun kurungan.

Kedua-duanya dinilai terbukti bersalah berdasarkan dakwaan kedua dari pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP "Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memberantas koruspi, korupsi e-KTP sangat merugikan negara dan masyarakat karena e-KTP adalah program yang stratios dan penting; akibat perbuatan terdakwa yang bersifat masif menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional dan dampak perbuatan para terdakwa masih dirasakan sampai saat ini dengan banyaknya masyarakat yang belum mendapatkan e-KTP; perbuatan terdakwa menyebabkan kerugian keuangan negara yang sangat besar," pungkas hakim Ansyori. (HYS/Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Hafit Yudi Suprobo

Advertisement

Bagikan Artikel: