Sektor kelautan dan perikanan nasional memerlukan beragam perbaikan mendasar terutama dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat pesisir agar area itu mampu menjadi andalan aktivitas perekonomian di Tanah Air, kata seorang aktivis.
"Diperlukan perbaikan-perbaikan kinerja di kementerian/lembaga negara terkait untuk mengatasi permasalahan mendasar yang dihadapi oleh pelaku usaha nasional," kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim di Jakarta, Jumat (23/9/2016).
Menurut Abdul Halim, perbaikan itu dapat dilakukan antara lain dengan membenahi kelembagaan perizinan kapal perikanan secara terpadu dan transparan.
Selain itu, ujar dia, pemerintah juga perlu lebih memfasilitasi nelayan, perempuan nelayan, dan pembudidaya ikan untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan dan olahannya.
"Berikan perlindungan secara berkala kepada awak kapal perikanan, baik yang bekerja di atas kapal perikanan dalam negeri maupun kapal asing," kata Sekjen Kiara.
Berbagai instansi pemerintah terkait juga diharapkan memprioritaskan penyerapan panen garam rakyat dan menutup kran impor garam industri dengan melakukan perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 125 Tahun 2015 Tentang Ketentuan Impor Garam.
Semua hal itu, menurut Abdul Halim, dapat dilakukan dengan menyegerakan penyusunan peraturan pelaksana Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) menginginkan Presiden Joko Widodo turun langsung dalam rangka menangani permasalahan yang ada di sektor kelautan dan perikanan nasional.
"Kami meminta dengan sangat agar Presiden Jokowi turun tangan mengatasi masalah yang telah merugikan dunia usaha sektor kelautan dan perikanan, selama hampir dua tahun terakhir," kata Ketua Umum Gappindo Herwindo.
Menurut Herwindo, hal tersebut karena implementasi penerapan Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional, dinilai lambat dan telah menciptakan kerugian material dan ketidakpastian berusaha di Indonesia.
Ketum Gappindo mengatakan berdasarkan hasil analisa dan evaluasi (Anev) yang diterbitkan oleh Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115), terdapat banyak kesalahan yang dilakukan oleh tiga perusahaan perikanan nasional.
Namun, lanjutnya, hasil tersebut sama sekali tidak ditindaklanjuti secara hukum selama hampir dua tahun sehingga beberapa perusahaan disebutkan mengalami kerugian yang sangat besar.
Menurut Herwindo, jika sejumlah perusahaan tersebut benar melakukan kesalahan fatal, maka seharusnya tindakan hukum harus dilakukan, sehingga jelas bagi perusahaan tersebut untuk melakukan tindakan antisipasi mengurangi dampak kerugian.
Selain kerugian materi, jelas dia, tindakan pembiaran itu juga akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sebanyak 5.000 karyawan dari berbagai perusahaan tersebut. (ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto