Tommy S Bhail, pengacara mantan Ketua DPD RI Irman Gusman mempertanyakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak memperlihatkan surat perintah penangkapan dan surat perintah penyidikan (sprindik) saat melakukan penangkapan terhadap kliennya.
"Ternyata yang ditunjukkan adalah sprindik atas nama tersangka Xaveriady Sutanto (Direktur CV Berjaya Semesta) tertanggal 24 Juni 2016," kata Tommy seusai sidang praperadilan yang diajukan Irman Gusman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (25/10/2016).
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (25/10) melalui hakim tunggal I Wayan Karya mulai menggelar sidang praperadilan yang diajukan pemohon Irman Gusman dengan jadwal pembacaan praperadilan dari pihak pemohon.
Pihaknya juga mempermasalahkan bagaimana bisa Xaveriady Sutanto yang tengah menjadi terdakwa pengedar gula tanpa SNI di Padang bisa berkeliaran di Jakarta.
"Padahal dia itu tahanan kota dan perintah penyidikan untuk penangkapan beliau sudah ada sejak 24 Juni 2016, ini ada apa? Dia itu sidang di sana setiap minggu sebagai tersangka dan tahanan kota kok bisa ada di Jakarta?," ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, operasi tangkap tangan tersebut tentu merupakan cacat hukum bahkan kami menduga ini bukan penahanan atau penangkapan tetapi penculikan oleh KPK.
Sidang praperadilan Irman Gusman akan dilanjutkan Rabu (26/10) dengan jadwal jawaban dari pihak termohon KPK.
Irman Gusman telah diberhentikan dari jabatan Ketua DPD RI setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus pidana oleh KPK.
Kasus ini diawali dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang terjadi pada Sabtu, 16 September 2016 dini hari terhadap empat orang yaitu Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, istrinya Memi, adik Xaveriandy dan Ketua DPD Irman Gusman di rumah Irman di Jakarta.
Kedatangan Xaveriandy dan Memi adalah untuk memberikan Rp100 juta kepada Irman yang diduga sebagai ucapan terima kasih karena Irman memberikan rekomendasi kepada Bulog agar Xaverius dapat mendapatkan jatah untuk impor tersebut.
Irman Gusman dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Xaverius dan Memi disangkakan menyuap Irman dan jaksa Farizal yang menangani perkara dugaan impor gula ilegal dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton dimana Xaverius merupakan terdakwanya.
Uang suap yang diberikan kepada Farizal adalah sebesar Rp365 juta dalam empat kali penyerahan, sebagai imbalannya, Farizal dalam proses persidangan juga bertindak seolah sebagai penasehat hukum Xaverius seperti membuat eksepsi dan mengatur saksi saksi yang menguntungkan terdakwa. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: