Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia menyoroti fenomena penguasaan praktik usaha yang dilakukan oleh sejumlah korporasi besar sehingga berpotensi menghambat pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM).
"Usaha-usaha besar menguasai praktik usaha dari hulu sampai hilir. Secara vertikal dia kuasai semua, tidak ada ruang bagi UKM untuk berpartisipasi di dalamnya hulu sampai hilir," kata Bahlil Lahadalia dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (27/10/2016).
Menurut Bahlil, sebagian besar konglomerasi di Indonesia mempraktikkan strategi besar ini, misalnya banyak peritel modern yang saat ini menguasai mulai dari bertani, distribusi, sampai penjualan, dikerjakan oleh pihak peritel modern itu sendiri.
Dia berpendapat bahwa penguasaan rantai pasok dari A sampai Z itu juga dinilai membuat UKM sukar masuk ke dalam ekosistem bisnisnya, sehingga UKM tersebut juga sukar melompat menjadi usaha besar di Tanah Air.
"Usaha mikro ke kecil, pertumbuhannya cepat sekali. Sebab ada banyak macam bantuan yang mereka dapat mulai dari KUR, CSR, hibah, dan sebagainya. Begitu juga dari kecil ke menengah," katanya.
Namun, Ketua Hipmi mengutarakan rasa herannya karena berat untuk usaha menengah menjadi usaha besar karena selain masalah pembiayaan, tetapi pasarnya juga tiba-tiba menjadi mentok.
Bahlil mengemukakan, kalau konglomerasi atau industri besar tidak melakukan monopoli, tercipta ruang besar bagi mereka untuk mendapat pasar yang lebih besar, sehingga dia bisa naik kelas lagi menjadi usaha besar.
Dia mengingatkan bahwa hal ini sangat berbeda dengan industri dan usaha besar di Jepang dan negara-negara maju, karena industri besar di sana selalu ditopang oleh UKM-UKM yang ikut memasok dan menjadi mata rantai usaha di negera-negara itu.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengharapkan kejelasan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengenai kriteria pemasaran produk yang termasuk praktik monopoli.
"Misalnya, kriteria pasar 'kan lebih dari 50 persen lebih menjadi satu monopoli. Ini perlu diperiksa KPPU, perilakunya seperti apa sehingga bisa menjadi monopoli," kata Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo Danang Girindrawardana di Kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jakarta, Kamis (20/10).
Selain kriteria pasar, Danang juga menilai KPPU perlu melihat faktor dominasi sebagai indikator perusahaan dapat dicurigai melakukan monopoli atau tidak. "Kami ingin kriteria tentang jenis aktivitas manajemen yang berkaitan dengan dunia 'marketing' (pemasaran) yang dilarang, karena belum jelas," katanya.
Salah satu contoh dominasi, Danang menyebutkan ketidakjelasan kriteria pelarangan terhadap sebuah toko yang hanya menjual merek tertentu padahal toko itu bukan sebuah "branded sale" atau toko khusus sebuah merek tertentu.
Masalah kemudian muncul jika produsen merek lain mengadukan toko itu kepada KPPU karena dia tidak bisa menjual produknya di sana. "Itu maksud saya, kriteria itu harus ada di depan sebelum bisa dihukum," kata Danang.
Berdasarkan catatan Apindo, hingga Oktober 2016 terdapat tujuh perusahaan yang menerima teguran maupun sanksi dari KPPU atas praktik monopoli. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto