Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        KPK Telusuri Klausul Kasus Pengadaan Pesawat Garuda

        KPK Telusuri Klausul Kasus Pengadaan Pesawat Garuda Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah menyatakan KPK akan menelusuri klausul-klausul yang ada dalam kasus pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C pada PT Garuda Indonesia.

        "Tentu kami akan telusuri proses pengadaan tersebut dan juga klausul-klausul yang ada di sana apakah ada klausul yang mencakup tentang pelayanan setelah barang disampaikan kepada Garuda Indonesia atau klausul-klausul tentang biaya-biaya pemeliharaan dan siapa pihak yang melakukan pemeliharaan tersebut," kata Febri di gedung KPK, Jakarta, Kamis (2/3/2017).

        KPK sendiri pada Kamis memeriksa Direktur Teknik PT Garuda Indonesia 2007-2012 atau Direktur Produksi PT Citilink Indonesia 2012 sampai dengan sekarang Hadinoto Soedigno sebagai saksi untuk tersangka mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar.

        Menurut dia, keterangan saksi Hadinoto tentu penting bagi penanganan perkara ini dan sejak awal kami sampaikan beberapa saksi dicegah ke luar negeri karena memang penyidik sangat membutuhkan keterangan dari para saksi tersebut.

        "Kebutuhan terhadap keterangan saksi itu tentu linier dengan indikasi-indikasi peran saksi dalam rangkaian perbuatan sehingga saksi mengetahui apa yang terjadi pada saat itu," tuturnya.

        Febri menyatakan fakta-fakta yang ada dalam rangkaian peristiwa itu penting untuk kami telusuri lebih lanjut, meskipun tentu saja KPK dalam hal ini penyidik fokus pada pembuktian indikasi suap pada Emirsyah Satar yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

        "Jadi, proses transaksinya yang kami lihat dalam proses pengadaan pesawat dan mesin pesawat tersebut," ucap Febri.

        Emirsyah dalam perkara ini diduga menerima suap 1,2 juta euro dan 180 ribu dolar AS atau senilai total Rp20 miliar serta dalam bentuk barang senilai 2 juta dolar AS yang tersebar di Singapura dan Indonesia dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 pada PT Garuda Indonesia Tbk.

        Pemberian suap itu dilakukan melalui seorang perantara Soetikno Soedarjo selaku "beneficial owner" dari Connaught International Pte. Ltd yang berlokasi di Singapura.

        Soektino diketahui merupakan presiden komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA), satu kelompok perusahaan di bidang media dan gaya hidup.

        Rolls Royce sendiri oleh pengadilan di Inggris berdasarkan investigasi Serious Fraud Office (SFO) Inggris sudah dikenai denda sebanyak 671 juta pounsterling (sekitar Rp11 triliun) karena melakukan pratik suap di beberapa negara antara lain Malaysia, Thailand, China, Brazil, Kazakhstan, Azerbaizan, Irak, Anggola.

        KPK awalnya menerima laporan dari SFO dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura yang sedang menginvestigasi suap Rolls Royce di beberapa negara, SFO dan CPIB pun mengonfirmasi hal itu ke KPK termasuk memberikan sejumlah alat bukti.

        KPK melalui CPIB dan SFO juga sudah membekukan sejumlah rekening dan menyita aset Emirsyah yang berada di luar negeri.

        Emirsyah disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huru f atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

        Sedangkan Soetikno Soedarjo diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (Ant)

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: