Pengembang Pulau G, PT Muara Wisesa Samudra (MWS) mengakui adanya pendangkalan dan kondisinya tak beraturan karena memang proses reklamasinya belum selesai.
"Itu (pendangkalan) adalah bagian dari proyek reklamasi yang belum selesai kami lakukan," kata Project Director PT Muara Wisesa Samudra (MWS) selaku pengembang Pulau G, Andreas saat dihubungi di Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Penegasan tersebut terkait dengan pernyataan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang kepada pers usai kunjungan Pulau C, D dan G bahwa disain Pulau G tidak jelas.
"Tanah ditimpa-timpa begitu saja sehingga menimbulkan sedimentasi. Ada pendangkalan, ini kan bahaya, bagaimana orang mau lewat, ikan nggak ada lagi di sini, habitatnya jadi rusak," kata Afri.
Menurut Andreas, sejak pemerintah melakukan moratorium proyek reklamasi Mei 2016, kegiatan di Pulau G berhenti total.?
"Kondisi Pulau G terlihat tidak beraturan karena proses reklamasinya belum selesai. Ini baru awal, tiba-tiba kami harus berhenti. Wajar jika belum terlihat seperti di gambar rencana Pulau G, karena tahapan proses pekerjaannya masih belum terlaksana sempurna," ujarnya.
Andreas memang mengakui, di area Pulau G terlihat seperti terjadi pendangkalan. Padahal, pendangkalan itu adalah bagian dari proses reklamasi yang dilakukan secara berlapis. Pendangkalan ini juga berada di dalam area konsesi Pulau G seluas 161 hektare.?
Pendangkalan di Teluk Jakarta, lanjut Andreas, sejatinya telah berlangsung bertahun-tahun dan jauh sebelum proyek reklamasi dimulai akibat banyaknya lumpur yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di area Teluk Jakarta.?
"Mesti dibedakan, pendangkalan di area konsesi Pulau G itu memang merupakan bagian dari proses pengurugan dasar laut di area perencanaan (konsesi) untuk membangun pulau buatan, sementara pendangkalan di Teluk Jakarta terjadi akibat sedimentasi lumpur dan sampah yang dibawa oleh sungai-sungai ke laut. Bisa dicek kok," katanya.
Andreas menambahkan, dalam membangun Pulau G, pihaknya menggunakan teknik lapis per lapis. Ini dilakukan lantaran kondisi dasar Teluk Jakarta merupakan lumpur lunak. Itu sebabnya, dalam membangun Pulau G, MWS tidak menggunakan teknik semprot pasir secara langsung, sehingga terbentuk pulau seperti dilakukan di Dubai, Uni Emirat Arab, dengan lapisan dasar lautnya berupa pasir yang keras.?
Jika teknik itu yang dilakukan justru akan menciptakan kekeruhan laut dan mencemari lingkungan, karena dasarnya lumpur dan dalam jangka panjang akan menyulitkan proses pekerjaan pemadatan lahan reklamasi itu sendiri akibat bercampurnya lumpur dengan material reklamasi.
"Dalam melakukan reklamasi kami gunakan metode lapisan per lapisan. Walaupun memerlukan peralatan tambahan dan biayanya mahal, teknik ini akan memberikan kekuatan dan stabilitas yang sangat baik terhadap pulau hasil reklamasi dan meski dasarnya lumpur, kegiatan reklamasi Pulau G praktis tidak menimbulkan kekeruhan yang dapat mengganggu lingkungan," katanya.
Andreas juga menyebut, disain pembangunan Pulau G melibatkan konsultan Royal Haskoning DHV, yang telah berpengalaman lebih dari 135 tahun melakukan reklamasi di berbagai negara di dunia.?
"Proyek reklamasi ini kami lakukan sesuai ketentuan dan arahan dari pemerintah. Kami juga dalam proses penyempurnaan Amdal yang telah kami peroleh sebelumnya," katanya.
Ia juga berkeyakinan, dengan reklamasi, kondisi lingkungan juga akan menjadi lebih baik. Habitat ikan pun akan berkembang bagus lantaran pasir urugnya lebih baik dari lumpur yang ada. Ini terbukti dari banyaknya burung-burung yang berada di pulau reklamasi karena ikan banyak di area tersebut.?
"Hal seperti itu tidak terlihat sebelumnya karena ikan sulit ditemukan di Teluk Jakarta ini," demikian Andreas. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: