Kredit Foto: Istimewa
Penanganan kasus reklamasi ilegal di pesisir Tangerang dipandang sebagai cerminan sejauh mana hukum benar-benar ditegakkan di Indonesia. Di balik beton-beton yang membatasi akses laut, tersimpan sorotan tajam terhadap independensi aparat penegak hukum, di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mengatakan polemik proyek reklamasi tersebut sudah melampaui ranah teknis semata. Menurutnya, penanganan kasus tersebut menjadi parameter arah pemberantasan korupsi nasional saat ini.
Kejaksaan Agung sempat dua kali mengembalikan berkas perkara ke Bareskrim Polri karena menganggap unsur pidana korupsi terpenuhi. Namun, hingga saat ini Polri tetap menggunakan pendekatan pidana umum dan mendasarkan tuduhan pada pasal pemalsuan dokumen.
“Publik patut bertanya apakah hukum masih berdiri di atas audit negara atau sudah jatuh dalam permainan kekuasaan?” kritik Iskandar dalam keterangannya, Rabu (30/4/2025).
Iskandar menilai langkah Kejaksaan untuk mengambil alih penyidikan sebenarnya memiliki dasar hukum yang kuat. Ia merujuk pada Pasal 110 ayat (3) KUHAP yang memberi kewenangan jaksa untuk mengarahkan penyidikan. Jika petunjuk tersebut diabaikan, jaksa bisa menolak berkas atau mengambil alih kasus sesuai Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan No. 11 Tahun 2021.
Ia juga mengingatkan peran dominus litis yang melekat pada jaksa sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (2) UU Kejaksaan, yakni sebagai pengendali proses hukum, bukan sekadar penerima pasif hasil penyidikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, lanjutnya, mempertegas dalam kasus korupsi, penyidikan tak perlu menunggu munculnya kerugian nyata. Potensi kerugian yang tertuang dalam audit resmi sudah cukup untuk memulai proses hukum.
“Jika Polri menolak menerapkan Tipikor, Kejaksaan wajib mengambil langkah hukum sendiri,” tegasnya.
Lebih lanjut, Iskandar memaparkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit investigatif terhadap proyek reklamasi tersebut. Ia menyebutkan tiga Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang secara eksplisit mengungkap pelanggaran.
Baca Juga: Paling Terdampak, Ini Upaya Pemerintah Kembangkan Masyarakat Sekitar Tambang
Pertama, LHP 2015 menyatakan proyek reklamasi dilakukan tanpa izin lingkungan dan tanpa setoran penerimaan negara bukan pajak, melanggar UU Lingkungan Hidup.
Kedua, LHP 2017 menyoroti penerbitan sertifikat hak milik dan hak guna bangunan di atas laut yang menutup akses publik ke ruang pesisir. Ketiga, LHP 2020 menunjukkan kerusakan ekosistem yang berdampak langsung pada kehidupan nelayan dan ekonomi lokal.
“Semua unsur Tipikor terpenuhi, baik dari sisi kerugian keuangan negara maupun penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya korporasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor,” jelas Iskandar.
Namun, penyidikan oleh Bareskrim tetap hanya mengandalkan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen. Iskandar menyayangkan keputusan tersebut karena dinilainya justru mengaburkan persoalan utama: korupsi struktural yang berdampak sistemik.
Ia juga menyoroti inkonsistensi sikap Bareskrim dalam menangani perkara. Beberapa kasus seperti pabrik gula diselidiki dengan cepat, sementara dalam perkara besar seperti KUR Tebu dengan dugaan kerugian negara Rp1,2 triliun, penyidikan nyaris tak bergerak.
“Itu menunjukkan adanya selektivitas penyidikan. Ini bukan lagi soal teknis hukum, tapi sudah menyentuh keberpihakan,” ujarnya.
Iskandar lantas menawarkan lima langkah strategis untuk ditempuh Kejaksaan Agung. Pertama, mengambil alih penyidikan kasus Tipikor sesuai Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. Kedua, menggandeng BPK dan KPK untuk menghitung kerugian negara.
Ketiga, menggunakan audit forensik serta data dari PPATK untuk menelusuri dana Rp48 miliar. Keempat, mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi jika dibutuhkan. Dan kelima, mendorong Komisi III DPR RI untuk menggunakan hak interpelasi atas mandeknya kasus.
Baca Juga: Merdeka Copper Gold Reklamasi 26,77 Hektare Lahan Tambang Sepanjang 2024
"Jika Kejaksaan Agung tetap pasif, IAW mengingatkan, Pasal 21 UU Kejaksaan membuka ruang sanksi administratif hingga pidana bagi jaksa yang lalai menjalankan tugasnya," tutur Iskandar.
Sebagai bentuk tekanan publik, IAW juga berencana menggulirkan class action, menggelar kampanye terbuka, dan membawa kasus ini ke United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) jika tak ada perkembangan berarti.
"Diamnya Kejaksaan sama saja dengan membiarkan uang barang bukti Rp48 miliar yang disidik Bareskrim sebagai bukti permulaan Tipikor dan kehancuran ekosistem pesisir. Hukum harus berdiri di atas audit negara, bukan tunduk pada tekanan politik dan korporasi," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement