Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu meragukan kemampuan Pertamina untuk merealisasikan penerapan kebijakan bahan bakar gas di Provinsi Sumatera Utara. Gus Irawan Pasaribu kepada wartawan di Medan, Minggu (7/5/2017), mengatakan cukup banyak pertimbangan yang memunculkan keraguan dalam realisasi bahan bakar gas (BBG) tersebut di Sumut.
"(Program, red.) yang di Jakarta yang sudah berlangsung sekitar 15 tahun saja, sampai hari ini tidak jalan," katanya.
Menurut dia, keraguan terhadap realisasi BBG tersebut bukan karena masalah amdal. Meski memang penting, tapi diperkirakan tidak akan mengalami masalah berarti. Masalah yang lebih perlu diperhatikan adalah infrastruktur dan kesiapan untuk menjalankan kebijakan tersebut secara konsisten.
Masalah pertama mungkin berkaitan dengan sumber gas karena Sumut tidak memiliki sumber atau perusahaan yang memproduksi sumber energi itu.
"Lalu, kalau itu mau direalisasikan, gasnya didatangkan dari mana," katanya.
Masalah selanjutnya, kata Gus Irawan, Sumut belum memiliki terminal untuk menampung gas yang akan didatangkan dari daerah lain tersebut. Karena belum ada, pemerintah dan Pertamina perlu membangunnya yang diperkirakan membutuhkan anggaran yang cukup besar dan waktu yang relatif lama.
Lain lagi dengan penyiapan stasiun khusus atau SPBU untuk BBG yang memerlukan tingkat keamanan tinggi guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Masalah selanjutnya, katanya, kesiapan untuk menjalankan program BBG tersebut dengan serius dan konsisten agar tidak berhenti di tengah jalan.
Meski mendukung kebijakan tersebut, pihaknya merasa ragu program itu dapat dilakukan di Sumut jika mengambil pelajaran di Jakarta.
"Pelaksanaanya yang justru meragukan. Jakarta yang semua sudah ada, mulai dari sumber, terminal, hingga stasiun pengisian namun tetap tidak berjalan," kata politikus Partai Gerindra itu.
Ia mengatakan kebijakan penggunaan BBG selama ini banyak yang terhenti, seperti bus Trans Jakarta yang kini kembali lagi menggunakan BBM.
Fenomena yang unik, kebijakan penggunaan BBG tersebut hanya berjalan untuk kalangan kecil, seperti pengemudi bajaj, sedangkan untuk perusahaan besar, termasuk perusahaan taksi, kebijakaan untuk menggunakan BBG tersebut tidak berjalan.
"Bajaj yang milik orang kecil bisa jalan. Kesannya seolah-olah pemerintah tidak punya kekuatan menghadapi grup-grup besar itu," ujar Gus Irawan. (CP/Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo