Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kejati Bidik Wali Kota Makassar atas Kasus Lahan

        Kejati Bidik Wali Kota Makassar atas Kasus Lahan Kredit Foto: Tri Yari Kurniawan
        Warta Ekonomi, Makassar -

        Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan memeriksa Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto sebagai saksi kasus dugaan korupsi sewa lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar, seluas 19.999 meter persegi pada 2015.

        "Dia (wali kota) datang tadi memenuhi panggilan untuk dimintai keterangannya karena sudah dua kali dipanggil," jelas Aspidsus Kejati Sulsel Tugas Utoto di Makassar, Selasa (30/5/2017).

        Pemeriksaan wali kota setelah bawahannya Asisten I Bidang Pemerintahan Muh Sabri ditetapkan menjadi tersangka bersama dua warga lainnya Jayanti Ramli dan Rusdin. Tugas Utoto mengaku, pemeriksaan wali kota hanya untuk mendalami peran dari para tersangka karena lahan yang dipersewakan itu adalah lahan negara.

        Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sulsel Salahuddin sebelumnya mengungkapkan, peran dari para tersangka, yakni Muh Sabri karena bertindak selaku fasilitator antara dua tersangka lainnya dengan PT PP selaku pelaksana pekerjaan.

        "Sabri ditetapkan sebagai tersangka karena ikut menfasilitasi dalam proses penyewaan lahan antara PT PP selaku pelaksana pekerjaan dengan pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan," katanya.

        Adapun tindak pidana korupsi bermula pada saat penutupan akses jalan di atas tanah negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, tahun 2015. Peran tersangka, Jayanti dan Rusdin mengakui memiliki surat garapan tahun 2003 atas tanah negara yang merupakan akses ke proyek pembangunan Makassar New Port (MNP).

        Atas dasar itu, tersangka Jayanti dan Rusdin dengan difasilitasi oleh Sabri yang bertindak seolah-olah atas nama pemerintah kota meminta dibayarkan uang sewa kepada PT PP selaku pelaksana pekerjaan. Uang yang diminta sebesar Rp500 juta selama satu tahun dituangkan dalam perjanjian. Padahal diketahui bahwa surat garap yang dimiliki tahun 2003 tersebut, lokasinya masih berupa laut hingga di tahun 2013. (ant)

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: