Ketua Badan Kehormatan DPD RI Andi Mappetahang Fatwa (AM Fatwa) mengatakan pembangunan kereta cepat bukan satu-satunya solusi memecahkan persoalan kemacetan. Pasalnya, proyek yang diperkirakan menelan dana hingga Rp70 triliun ini akan menimbulkan beban utang negara.
"Praktiknya konsorsium Indonesia yang harus membayar itu, menjadi berat. Makanya sejak setahun lalu digulirkan pembangunannya baru dimulai secara formalitas sekarang," katanya kepada wartawan di Bandung, Kamis (5/10/2017).
Menurut Fatwa, masih banyak proyek lain yang perlu didahulukan seperti pembangunan kereta api dari Sumatera Utara sampai Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Pembangunan kereta cepat bertentangan dengan janji Presiden Jokowi sewaktu kampanye yaitu akan membangun Indonesia dari pinggir karena realisasinya tetap difokuskan di Pulau Jawa. Ia menegaskan pembangunan dari pinggir itu berkaitan dengan berbagai proyek kesejahteraan rakyat dan infrastruktur di pedesaan.
"Ini kan ada yang lebih mendesak seperti pembangunan LRT yang dibutuhkan oleh masyarakat kota karena itu jauh lebih cepat mengatasi kemacetan," tegasnya.
Sejauh ini pemerintah mengalami kendala dalam pembebasan lahan kereta api cepat karena harga tanah untuk pembuatan jalur tersebut semakin tinggi. Ia menyampaikan hal tersebut menjadi penyebab sampai sekarang belum dibangun baru sebatas pangkalnya saja.
Fatwa menilai bahwa secara umum proyek yang dijalankan pemerintah selalu ada unsur penekanan terhadap masyarakat. Ia mengusulkan akan lebih efektif jika mereaktivasi jalur kereta api yang sudah lama tidak digunakan sehingga dananya jauh lebih murah jika dibandingkan pembangunan kereta api cepat.
"Itu saya kira lebih murah dan lebih cepat pembangunannya dibanding membuat proyek yang baru," tegasnya.
Senada, anggota DPD RI asal Jabar Ayi Hambali mengatakan bahwa dari sisi ekonomi pembangunan kereta cepat dinilai akan merugikan negara. Berdasarkan perhitungan, dengan biaya Rp70 triliun dan tiket Rp200 ribu selama 20 tahun pun tidak akan mendapatkan keuntungan dari pembangunan kereta cepat ini.
"Jadi hanya unuk 142 km dengan biaya sebesar Rp70 triliun maka sudah jauh dari untung, kalau rugi pun dengan biaya yang bukan dari APBN tapi kan tetap dibiayai oleh BUMN yang ujung-ujungnya berasal dari dana negara," tegas Ayi.
Ayi menilai keuntungan dari proyek pembangunan ini bukan dari kereta cepat melainkan areal lahan yang ada di jalur itu seperti Meikarta, Kota Walini di Purwakarta, dan Kabupaten Bandung Barat.
"Kalau pun sekarang dipaksakan jadi dan ternyata menurut dugaan keuntungan terjadi bukan pada kereta cepatnya tetapi pada areal yang dibangun. Artinya, bagi rakyat itu rugi karena menanggung utang tapi bagi mereka itu sebuah keuntungan. Kereta cepat ini untuk keuntungan rakyat yang mana?" tegasnya.
Sejauh ini pihaknya mendapat pengaduan dari masyarakat terkait pembebasan lahan kereta cepat karena belum ada kepastian harga. Bahkan ada kesan pemaksaan dari pemerintah untuk menjual lahannya.
"Belum semua pemda kabupaten/kota yang dilewati kereta cepat ini mengubah ?RT/RW-nya. Harusnya diubah kemudian RT/RW nasional diubah menjadi bahan RT/RW daerah. Nah sekarang ini langsung dilewat ke Kementerian LH. Ini terkesan sangat dipaksakan," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: