Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Belajar dari Bencana Alam

        Belajar dari Bencana Alam Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
        Warta Ekonomi, Purwokerto -

        Sepanjang tahun 2017, terjadi sejumlah bencana alam di wilayah Jawa Tengah bagian Selatan, seperti Kabupaten Banyumas, Banjarnegara, Cilacap, dan Purbalingga. Mulai dari banjir, longsor, hingga angin kencang yang mengakibatkan pohon tumbang.

        Di Banjarnegara, Badan Penanggulangan Bencana Daerah setempat menginformasikan bahwa pada tahun 2017, telah terjadi sejumlah kejadian bencana alam di wilayah tersebut. Misalnya, selama bulan Oktober 2017, ada 40 kejadian bencana alam di Banjarnegara. Dari 40 bencana alam tersebut, 33 di antaranya merupakan bencana tanah longsor.

        Selain itu, masih pada bulan Oktober 2017, bencana tanah longsor juga terjadi di sejumlah desa di Kabupaten Purbalingga. Contoh lainnya, pada bulan November, bencana banjir dan tanah longsor juga melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Cilacap. Selain itu, masih ada beberapa bencana alam lainnya yang terjadi di wilayah Jawa Tengah bagian Selatan, terutama setelah meningkatnya intensitas hujan di wilayah tersebut.

        Masih pada tahun 2017, tepatnya pada pertengahan Desember, juga terjadi gempa signifikan yang dirasakan di sejumlah wilayah di Jawa Barat, hingga Yogyakarta. Termasuk di Jawa Tengah. Gempa tersebut berkekuatan 6,9 SR dengan episenter di Selatan Pulau Jawa. Puluhan rumah warga dan sejumlah fasilitas umum dilaporkan rusak akibat gempa tersebut.

        Di Kabupaten Banyumas, misalnya, selain mengakibatkan puluhan rumah rusak, dampak gempa juga mengakibatkan kerusakan pada sejumlah fasilitas umum, salah satunya RSUD Banyumas. Akibatnya, sekitar 56 pasien di RSUD Banyumas dipindahkan ke ruangan yang aman, akibat kerusakan yang terjadi pada sejumlah ruangan di rumah sakit tersebut.

        Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan, puncak musim hujan di kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah bagian Selatan akan terjadi hingga Januari 2018.

        Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara (BMKG Banjarnegara), Setyoajie Prayoedhie, mengatakan puncak musim hujan telah terjadi sejak Desember 2017, dan diprakirakan akan berlangsung hingga Januari 2018 mendatang.

        BMKG juga memprakirakan bahwa pada umumnya hujan bersifat normal (N). Namun curah hujannya berpeluang tinggi yakni antara 151 hingga di atas 300 milimeter. Sepanjang November hingga Desember 2017, BMKG beberapa kali mengingatkan adanya potensi cuaca ekstrem di wilayah Jawa Tengah. Salah satunya contohnya adalah peringatan dini cuaca ekstrem yang berlaku mulai 13 hingga 15 Desember 2017 lalu.

        BMKG memprakirakan, adanya tekanan rendah di perairan Tenggara Filipina dan di sebelah Timur Jawa Timur, yang mengakibatkan area belokan angin dan pertemuan angin (konvergensi) di wilayah Jawa Tengah, sehingga menyebabkan peningkatan pertumbuhan awan hujan. Selain itu, ada aliran massa udara basah dari Barat yang mengakibatkan kondisi udara di sekitar Jawa Tengah menjadi sangat tidak stabil (labil).

        Interaksi kedua fenomena tersebut dengan kondisi cuaca lokal mengakibatkan beberapa potensi cuaca ekstrem di sekitar wilayah Jawa Tengah. Untuk itu, BMKG terus mengimbau masyarakat agar mewaspadai potensi genangan, banjir, banjir bandang, maupun tanah longsor di kawasan yang berpotensi hujan lebat.

        BMKG juga mengimbau otoritas transportasi untuk mewaspadai potensi genangan yang bisa muncul di jalan raya, kereta api, dan bandar udara BMKG juga mengimbau seluruh pihak untuk mewaspadai munculnya kilat dan petir, dan disarankan tidak berlindung dibawah pohon, serta menyiapkan diri dengan selalu membawa payung dan jas hujan ketika keluar rumah. BMKG juga mengingatkan untuk selalu memeriksa kendaraan ketika akan melakukan perjalanan, serta memeriksa ban untuk mengantisipasi jalan licin.

        Sisem Peringatan Dini

        Berbagai bencana yang terjadi, seharusnya tentunya makin menambah kesadaran seluruh pihak terkait, termasuk masyarakat, untuk terus meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Salah satunya, dengan meningkatkan upaya mitigasi atau pengurangan risiko bencana. Hal tersebut sangat penting untuk dilakukan, guna meninimalisasi jatuhnya korban.

        Ketua Jurusan Teknik Sipil, Universitas Jenderal Soedirman, Arwan Apriyono mengingatkan pentingnya sistem peringatan dini atau "early warning system", khususnya di lokasi rawan longsor. Menurut dia, pemerintah darerah, perlu mengecek apakah sistem peringatan dini yang dimiliki telah berfungsi dengan baik.

        Pemerintah daerah juga perlu meningkatkan sosialisasi dan terus mengingatkan penduduk yang tinggal di wilayah lokasi longsor, agar lebih waspada.

        Sementara itu, Kepala Pusat mitigasi bencana LPPM Universitas Jenderal Soedirman, Dr. Endang Hilmi menambahkan bahwa upaya mitigasi bencana bukan saja menjadi tugas pemerintah, melainkan juga menjadi tugas bersama. Menurut dia, jika ditinjau dari risiko bencana, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

        Pertama, banyak rumah warga yang berada di wilayah zona merah rawan longsor. Sehingga ketika terjadi longsor, rumah wargalah yang menjadi penyangga untuk menahan longsor.

        "Kedua, warga terkadang tidak memahami tanda-tanda alam, misalnya tanah di bukit yang sudah retak, menganga, atau ada tanah yang turun, serta ada guguran tanah yang jatuh," katanya.

        Ketiga, banyak area rawan longsor yang sudah berubah fungsi dari hutan menjadi peruntukan lain. Keempat, perlunya peningkatan pemahaman bagi masyarakat, tentang longsor dan dampaknya. Kelima, perlu peningkatan kemampuan ketanggapdaruratan masyarakat terhadap longsor.

        Rumah Tahan Gempa

        Sementara itu, dalam upaya meningkatkan upaya mitigasi atau pengurangan risiko bencana, dosen jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Jenderal Soedirman, Nanang Gunawan, mengingatkan pentingnya memperhatikan prinsip pembangunan rumah sederhana tahan gempa.

        Prinsip tersebut, antara lain meliputi perencanaan denah bangunan, perencanaan fondasi, perencanaan kolom praktis, dan juga perencanaan balok ring. Selain itu, perencanaan dinding, dan perencanaan rangka atap, sambungan tulangan antarelemen, dan penggunaan material.

        Misalkan, denah bangunan perlu dibuat sederhana dan simetris tanpa banyak tonjolan. Contoh denah yang simetris, adalah persegi panjang dan lingkaran. Selain itu, fondasi rumah juga harus bertumpu pada tanah yang cukup keras. Untuk fondasi batu kali, minimum kedalaman adalah 50 centimeter dan dibuat secara menerus dan saling menutup.

        "Sementara dinding dapat menggunakan bata merah atau bata ringan. Prinsip dari pemasangan dinding adalah selalu terkekang sisi luarnya oleh sloof, kolom praktis, dan balok ring," katanya.

        Sementara itu, prinsip penggunaan material penutup atap, menurut dia, adalah seringan mungkin seperti genteng metal, sehingga akan mengurangi beban yang bekerja pada elemen struktur lainnya. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah penggunaan material pasir, yakni pasir yang digunakan harus yang bersih dengan kadar lumpur maksimum lima persen.

        Sementara itu, Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Banjarnegara juga mengingatkan pentingnya meningkatkan kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat. Staf PMI Banjarnegara bidang Penanggulangan Bencana Alam dan Humas, M. Alwan Rifai, mengatakan perlu terus dilakukan upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai apa yang harus dilakukan bila terjadi bencana.

        Masyarakat, tambah dia, harus memahami apa yang perlu dilakukan apabila terjadi bencana di daerahnya. Dan pada akhirnya, masyarakat akan banyak belajar dari dari setiap kejadian bencana alam mengenai upaya meningkatkan kesiapsiagaan dan upaya meningkatkan mitigasi bencana.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: