Pemerintah dianggap belum berwibawa dalam menegakkan peraturan serta melakukan pengawasan dengan ketat Standar Pelayanan Minimum (SPM) dalam pelayanan taksi online dan taksi konvensional. Hal ini menyusul tindakan kriminal yang terjadi di dalam taksi daring (online) hingga memakan korban seorang wanita.
"Ketegasan itu bisa dilakukan jika pemerintah menjaga kewibawaannya sendiri di hadapan pengusaha taksi konvensional dan aplikator taksi online," kata Analis Kebijakan Transportasi Azas Tigor Nainggolan dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Pada Minggu (18/3/2018) terjadi tindak kejahatan yang dilakukan pengemudi taksi online terhadap penumpang atau penggunanya. Di Bogor, perempuan bernama Yun Siska Rohani (29) dibunuh oleh pengemudi dari taksi online yang korban tumpangi. Pengemudi taksi online ini melakukan pembunuhan dibantu seorang temannya.
Azas memandang kejahatan oleh pengemudi taksi online terhadap penggunanya sudah sering terjadi di Indonesia. Ketua Forum Warga Jakarta itu menyebut pada 11 Oktober 2017 seorang perempuan penumpang taksi online hampir diperkosa di Makassar?dan pada 17 Januari 2018 seorang perempuan dirampok oleh pengemudi taksi online yang ditumpangi di Bandung. Tidak hanya itu, 12 Februari 2018 seorang perempuan dicabuli dan dibuang di sekitar bandara Soekarno Hatta oleh pengemudi taksi yang ditumpangi korban.
"Memang sudah banyak kasus keamanan dan kejahatan dialami pengguna taksi online. Tapi, penanganan atau penyelesaian masalah kemanan atau jaminan perlindungan hukum bagi pengguna taksi online nyaris tidak ada hingga saat ini," ucapnya.
Azas menilai pemerintah seakan tidak berwibawa di hadapan para aplikator taksi online. Hingga saat ini pemerintah tidak berdaya mengawasi dan menegakkan hukum terhadap pelanggaran keamanan atau kejahatan yang terjadi di pelayanan taksi online.
"Pemerintah tidak memiliki kemauan melindungi pengguna taksi online dan seakan membiarkan saja kejahatan dan masalah di taksi online," imbuhnya.
Tindak kejahatan oleh pengemudi taksi online ini kata Azas membuktikan bahwa tidak adanya Standar Pelayanan Minimum pelayanan taksi online terhadap penumpang atau penggunanya. Kejahatan oleh pengemudi taksi online tersebut juga membuktikan bahwa tidak ada standar bagus dalam perekrutan pengemudi oleh aplikator taksi online hingga saat ini.
"Hingga saat ini pihak pemerintah belum juga bersikap dan menunjukkan upaya menyelesaikan buruk atau lemahnya keamanan taksi online. Pemerintah terlihat tidak peduli dan diam saja, tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap aplikator yang mitra atau pengemudinya melakukan kejahatan terhadap penumpangnya," kata Azas.
"Padahal, yang merekrut dan mengoperasikan para pengemudi itu adalah perusahaan aplikasi atau aplikator taksi online. Seolah pemerintah mengadu antara pengguna atau publik dengan aplikator taksi online karena pemerintah takut berhadapan dengan aplikator taksi online. Akibatnya, pengguna dirugikan terus-menerus karena tidak ada standar pelayanan minimum, pengawasan, serta penegakkan peraturan terhadap taksi online dari pemerintah," kata Azas menambahkan.
Menurutnya, pemerintah bisa mencontoh pengawasan taksi online di negara lain. Dicontohkannya, pengadilan Uni Eropa (European Court of Justice/ECJ) telah memutuskan bahwa pelayanan Uber (taksi online) diawasi sebagaimana pengawasan terhadap operator taksi lainnya seperti pengaturan tanda (stiker) lisensinya dan lain-lain.
"Bagaimana dengan Indonesia? Pengawasan terhadap SPM taksi umumnya (konvensional) saja lemah dan keamanan layanan taksi konvensional juga lemah sampai saat ini. Masalah keamanan taksi online dan konvensional sama-sama lemah, banyak tindak kejahatan, dan belum ada penegakan peraturan serta pengawasan ketat oleh pemerintah," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Dina Kusumaningrum
Editor: Fauziah Nurul Hidayah
Tag Terkait: