Pasar finansial terus waspada karena isu perang perdagangan antara Amerika Serikat dan Cina memberi insentif bagi bears untuk memegang kendali. Aksi jual yang dialami saham AS di hari Jumat (23/3/2018) cukup parah setelah Presiden Trump mengumumkan rencana untuk memberlakukan bea masuk pada impor Cina hingga $60 miliar.
Proposal baru ini membuat S&P 500 anjlok 2,1% dan Dow Jones Industrial Average memasuki area koreksi (turun 10% dari level tertinggi 2018). Ini adalah pekan terburuk bagi S&P 500 sejak Januari 2016 dan kinerja terburuk keempat sejak 2010.
"Kita belum tahu pasti apakah akan terjadi perang perdagangan besar-besaran. Saya masih meyakini bahwa Presiden Trump sedang menjalankan taktik 'Art of Deal' (Seni Kesepakatan, seperti judul buku yang ia tulis) untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang lebih baik sementara Cina mengikuti filosofi Sun Tzu, 'menangkan peperangan tanpa pertempuran'," ungkap Chief Market Strategist?Forextime Hussein Sayed dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (27/3/2018).
Sebelumnya, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin berkomentar di akhir pekan bahwa ia waspada, tetapi optimis bahwa AS dan Cina akan mencapai kesepakatan, dan ini mungkin dapat menenangkan pasar saat sesi trading AS dimulai. Walau demikian, semakin lama situasi 'menunggu dan memantau' ini berlangsung, semakin besar tekanan yang akan dirasakan pasar modal.
Banyak perusahaan yang akan harus menyesuaikan rencana belanja modal dan ekspansi menurut perkembangan baru ini. Hal ini jelas akan memengaruhi keyakinan investor dan berbahaya untuk pertumbuhan ekonomi global yang telah menjadi pilar utama untuk pasar yang telah mengalami bull run selama sembilan tahun.
Menurutnya, situasi menghindari risiko pada pekan lalu ternyata sangat tidak menguntungkan bagi Dolar. Aksi jual saham tidak memperkuat Dolar, dan mata uang ini merosot ke level terendah dalam lima pekan terhadap sejumlah mata uang.
Risiko terbesar bagi Dolar AS adalah jika Cina mengurangi atau memperlambat pembelian obligasi Treasury AS. Cina memegang surat utang AS sebesar $1,1168 triliun pada Januari, atau sekitar 18,7% dari seluruh kepemilikan asing terhadap surat utang AS, dan AS tidak mampu kehilangan pembeli terbesarnya di saat defisit anggaran sedang mengalami ekspansi.??
"Data final pertumbuhan ekonomi kuartal empat AS dan Inggris Raya pekan ini kemungkinan tidak menggerakkan pasar. Walau demikian, data konsumen AS akan menjadi sorotan dengan rilis keyakinan konsumen, pendapatan serta belanja personal. Data ini, termasuk laporan Belanja Konsumsi Personal (PCE), dapat menyebabkan sedikit peningkatan volatilitas," terangnya.
Sementara itu, Rupiah dominan terhadap Dolar pada perdagangan di hari perdagangan pertama pekan ini. Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS bergerak di kisaran Rp13.740. Ketidakpastian politik dan isu perdagangan yang semakin memanas membuat Dolar melemah dan memperkuat mata uang pasar berkembang. Dolar berisiko terus melemah dengan semakin tegangnya situasi perdagangan AS-Cina sehingga Rupiah dapat terus terangkat dan menguat.
"Perhatian pasar akan tertuju pada rilis data pertumbuhan kredit Indonesia di hari Rabu yang dapat memberi gambaran tentang total kredit dan sewa sepanjang bulan Februari. Kenaikan pertumbuhan kredit dapat meningkatkan optimisme terhadap ekonomi Indonesia dan memperkuat Indeks Harga Saham Gabungan," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah