Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Adu Inovasi Produk di Kancah Pertarungan Asuransi Jiwa

        Adu Inovasi Produk di Kancah Pertarungan Asuransi Jiwa Kredit Foto: Agus Aryanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Medan tempur industri asuransi jiwa bukan lagi duel antara perusahaan asuransi joint venture versus asuransi lokal. Pertarungan sesungguhnya dalam kancah adu inovasi produk dan layanan yang sesuai kebutuhan masyarakat. Inovasi produk dengan pemanfaatan fintech menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihindari.

        ?Selamat pagi, Bapak dan Ibu sekalian....? Sapaan seperti ini khas para pelaku industri asuransi di dalam negeri ketika membuka salam di pertemuan apa pun dan disampaikan tanpa kenal waktu. Apakah pertemuannya itu di pagi, siang, atau malam hari, sapaan itu selalu ?Selamat pagi?. Kok, Selamat pagi?

        Ya, itulah ekspresi optimisme para pelaku di industri asuransi terhadap prospek positif industri yang menjual pengharapan ini.

        Prospek positif itu bisa dilihat dari tiga indikator, yakni penetrasi, densitas, dan jumlah pemegang polis. Tingkat penetrasi asuransi di?Indonesia terbilang masih rendah, yakni 2,8%. Angka penetrasi itu diperoleh dari pendapatan premi perusahaan asuransi dibagi angka gross domestic product (GDP). Pendapatan premi asuransi pada 2016 sebesar Rp348,7 triliun dan angka GDP Indonesia periode yang sama Rp12.406 triliun sehingga?keluarlah angka 2,8% itu. Di Negari Jiran, seperti Singapura, penetrasi mencapai 7,0%, sedangkan Amerika Serikat 7,1% dan Inggris 12,2%.

        Selain angka penetrasi, angka densitas atau tingkat premi yang dibayar penduduk juga rendah. Apabila angka densitas semakin tinggi akan semakin bagus. Densitas diukur melalui pembagian antara jumlah pendapatan premi dengan jumlah penduduk. Pendapatan premi asuransi di Indonesia sebesar Rp348,7 triliun dibagi 257,9 juta jiwa, keluarlah angka Rp1,3 juta per penduduk. Sebuah angka yang relatif kecil dibandingkan densitas di negara lain.

        Sekarang coba bandingkan tingkat densitas di Singapura yang sudah mencapai bilangan Rp47,8 juta, Jepang Rp38,4 juta, Amerika Serikat Rp54,3 juta, dan Inggris Rp65,5 juta. Dua indikator tadi masih bisa diimbuh satu lagi, yakni angka persentase pemegang polis dengan jumlah penduduk. Pada 2016, pemegang polis di Indonesia sebanyak 54,9 juta jiwa dari 257,9 juta jiwa jumlah penduduk atau 21,3% saja. Itu artinya, pasar asuransi di dalam negeri masih terbuka lebar.

        Fakta itu pula yang membuat tumbuh suburnya perusahaan asuransi lokal maupun joint venture yang mencoba mereguk manisnya kue asuransi di Indonesia. Sampai 2016, setidaknya ada 138 perusahaan asuransi di Indonesia yang terdiri atas 76 perusahaan asuransi umum, 52 perusahaan asuransi jiwa, 5 perusahaan asuransi sosial, dan 5 perusahaan reasuransi. Manisnya pasar asuransi di Indonesia dapat terlihat dari tiga indikator yang terus mengalami pertumbuhan, yakni aset, premi, dan hasil investasi.

        Dari sisi aset, misalnya, kurun lima tahun (2013?2017) bilangannya terus meningkat dari Rp584 triliun pada 2012 menjadi Rp1.074 triliun pada Juli 2017 atau melonjak 45%. Dari sisi premi memperlihatkan gejala?serupa. Pada 2013, pendapatan premi Rp186,2 triliun yang melonjak menjadi Rp221,1 triliun per Juli 2017 atau meningkat 15,7%. Begitu pula dalam hal hasil pengelolaan dana, hasil investasi perusahaan asuransi mencatat angka Rp538,4 triliun pada 2013 menjadi Rp905,8 triliun atau melonjak 40%.

        Kenyataan inilah yang tidak bisa dipungkiri bahwa memang pasar asuransi Indonesia prospektif. Tinggal persoalannya bagaimana meningkatkan penetrasi, densitas, dan rasio lainnya. Di setiap segmen industri asuransi?asuransi umum, jiwa, sosial, dan reasuransi?tentulah menghadapi battlefield-nya masing-masing.?

        Battlefield di Asuransi Jiwa

        Sekarang coba tengok battlefield di industri asuransi jiwa. Dalam industri ini terdapat 57 pemain. Dari jumlah itu, 34 berstatus perusahaan asuransi jiwa lokal dan 23 perusahaan joint venture (JV). Total premi asuransi jiwa pada 2016 mencapai Rp166,2 triliun yang terbagi atas dua produk, yakni tradisional dan unit link. Produk tradisional menyumbang pendapatan premi sebesar Rp78,5 triliun dan unit link sebesar Rp87,7 triliun pada 2016.

        Menurut catatan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), sekitar 60% dari total pendapatan premi tersebut dikelola 10 perusahaan asuransi. Dari sepuluh perusahaan, delapan berstatus JV dan dua lagi perusahaan lokal. Gambaran ini tentu memunculkan pertanyaan, kenapa sebagian besar pasar asuransi jiwa di dalam negeri berada di tangan sepuluh perusahaan saja??

        ?Padahal secara level playing field, aturan main di industri asuranji jiwa, baik pelaku lokal dan JV sama, tidak ada yang dibedakan,? ujar Hendrisman Rahim, Ketua Umum AAJI.

        Level playing field yang sama itu seperti pemenuhan aturan Otoritas?Jasa Keuangan (OJK) terkait risk based capital (RBC) atau rasio solvabilitas keuangan perusahan asuransi sebesar 120%. Ketentuan lainnya, seperti kewajiban menginventasikan 30% dana pengelolaan ke Surat Berharga Negara (SBN) pun berlaku sama ke semua pelaku usaha. Yang membedakan yakni kemampuan permodalan, SDM berkualitas, manajemen yang handal, budaya perusahaan, dan sokongan teknologi informasi (TI).

        Ambil contoh perusahaan asuransi JV. Dari 10 perusahaan asuransi jiwa yang memiliki modal di atas Rp2,5 triliun, enam perusahaan berstatus JV. Umumnya, modal dan RBC perusahaan JV terbilang besar. Misalnya, PT Asuransi Prudential Life Assurance punya modal Rp9 triliun dan RBC 1.061% pada 2016. Lalu, PT AIA financial dengan modal Rp8,9 triliun dan RBC 727%, PT Asuransi Allianz Life membukukan modal Rp5,3 triliun dan RBC 387%, sedangkan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia mencatatkan modal Rp8 triliun dan RBC 410%.?

        Selain disokong permodalan yang memadai, asuransi JV tinggal copy paste model manajemen, budaya perusahaan, sistem TI, model pemberdayaan SDM, dan kreasi produk dari kantor pusat mereka. Di atas kertas, perusahaan asuransi JV ini boleh dibilang tinggal melaju dengan kelengkapan fasilitas yang disokong kantor pusat mereka di luar negeri. Ambil contoh produk unit link?produk asuransi yang mengawinkan antara fungsi proteksi dan investasi?yang menjadi andalan perusahaan asuransi JV. Produk unit link ini boleh dibilang tinggal copy paste dari produk sejenis di induk semangnya. Tidak heran apabila asuransi JV lebih piawai dan unggul dalam produk unit link dibanding asuransi lokal.?

        ?Di era yang serba digital, perusahaan asuransi jiwa tidak lagi dilihat dari jenis perusahaannya, tetapi inovasi yang dikeluarkan dari?masing-masing perusahaan. Jadi, bukan berarti perusahaan JV lebih unggul dari lokal atau sebaliknya,? ujar Hendrisman Rahim. Persaingan antara perusahaan JV dan lokal juga terlihat dari penjualan produknya. Perusahaan JV yang sudah lama mengandalkan produk unit link akan berhadapan dengan perusahaan lokal yang mulai masuk ke produk unit link.

        Selama ini, segmen pasar perusahaan asuransi jiwa seperti sudah terbagi, perusahaan asuransi JV banyak bermain di produk unit link, sedangkan perusahaan lokal bermain di produk tradisional. Perusahaan asuransi jiwa, seperti PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pun mengakui belum terlalu berani masuk ke segmen produk unit link tersebut. Salah satu kendala yang dihadapi adalah belum siapnya tenaga pemasar (agen) yang perlu diedukasi lagi terkait produk nontradisional seperti unit link. ?Frontline kami seperti para agen belum sepenuhnya siap,? ujar Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya, Muhamad Zamkhani.?

        Walhasil, Asuransi Jiwasraya yang memiliki modal Rp5,4 triliun ini mesti pandai membaca pergerakan pasar, seperti fokus menggarap produk tradisional?seperti asuransi jiwa berjangka, asuransi jiwa seumur hidup, asuransi dwiguna/endowment?yang?tidak disentuh perusahaan asuransi JV. Bagi perusahaan asuransi JV, produk tradisional dianggap tidak efisien dibanding produk unit link. Pasalnya, di produk tradisional ada risiko yang ditanggung perusahaan, seperti komitmen memberi imbal hasil tertentu, misalnya, 9% per tahun secara fix. Sementara di produk unit link, pendapatan investasi tergantung pergerakan hasil penempatan investasi.

        Dalam menggarap produk tradisional, Jiwasraya sudah barang tentu tidak sendirian. Sebagai perusahaan asuransi pelat merah (BUMN), yang kini baru menjalin kerja sama dengan 38 dari 118 BUMN ini, head-to-head terhadap perusahaan asuransi pelat merah lainnya, seperti PT AXA Mandiri, BNI Life, dan Taspen Life. Di luar itu, masih ada 30 perusahaan asuransi lokal lain yang juga menggarap produk tradisional. Di sinilah battlefield perusahaan asuransi jiwa lokal itu berlangsung, sedangkan perusahaan asuransi jiwa JV adu bertarung dalam adu canggih produk unit link dengan imbal hasil tinggi dan proteksi yang menarik.?

        Adu Inovasi & Pelayanan di Era Digital?

        Seperti disinyalir Hendrisman Rahim bahwa battlefield perusahaan asuransi jiwa di era digital bukan?lagi melihat status perusahaan JV atau lokal, tetapi ke inovasi produk dan pelayanan prima. Ambil contoh, Prudential Life Assurance (PLA) yang mencoba memberi layanan prima, yaitu polis bisa kelar usai calon pemegang polis tuntas menyeruput secangkir kopi dengan rentang waktu sekitar tiga menit. Di masa lalu, urusan polis biasanya kelar satu minggu lebih. ?Jadi, kalau ada nasabah kami di kota Sorong, Papua, bisa menikmati secangkir kopi, tak lama kemudian polis sudah dikirim dan nasabah sudah mendapat perlindungan,? CEO PT PLA, Jens Reisch.

        Pada prinsipnya, Prudential sedang menyiapkan pelayanan digital yang mencoba mempertemukan aspek the best of human dan the best of digital. Jens Reisch mencontohkan, Prudential Medical Network memiliki produk Pruhospital Friend yang akan membantu nasabah yang ingin melakukan klaim, mereka bisa mengirim foto ke Prudential dan dalam hitungan dua hari klaim sudah bisa cair. Ia berharap inovasi yang sedang terus digarap ini akan menjadi produk unggulan dalam kurun lima tahun mendatang.

        Apa yang dilakukan Prudential tentulah dipersiapkan perusahaan asuransi jiwa lainnya. Maklum saja, era digitalisasi merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK, Riswinandi, melihat tantangan dan peluang di industri asuransi dalam hal pemanfaatan fintech. Saat ini, masyarakat sudah mulai bergantung kepada teknologi sehingga dengan memanfaatkan fintech bisa dilakukan efisiensi biaya pemasaran dan premi bisa jadi lebih murah.

        ?Pemanfaatan fintech ini juga akan mendorong ketersediaan dan akses keuangan bagi masyarakat dalam mewujudkan keuangan yang inklusif,? ujar Riswinandi. OJK menyadari kehadiran fintech di asuransi ini, seperti juga di industri perbankan dan jasa keuangan lainnya?belumlah memiliki payung hukum. Untuk itu, pelaku industri agar melakukan mitigasi risiko atas cyber risk, seperti risiko kegagalan platform akibat adanya serangan terhadap integritas sistem yang dilakukan hacker atau virus.

        Jein Reisch tidak memungkiri dengan pemanfaatan teknologi digital seperti fintech akan memperluas jangkauan inklusi keuangan di sektor asuransi. Meskipun begitu, peran agen asuransi masih memainkan andil besar dalam hal penetrasi pasar asuransi di dalam negeri. Untuk itu, ia mendukung program 10 juta agen guna memperluas inklusi keuangan?khususnya asuransi di Indonesia. Para agen asuransi inilah yang akan menjadi ujung tombak dalam hal membangun kesadaran masyarakat atas pentingnya asuransi. Para agen inilah andalan di lapangan agar penetrasi asuransi di Indonesia bisa meningkat.

        AAJI mengakui bahwa pekerjaan rumah industri asuransi jiwa pada 2018 adalah meningkatkan penetrasi asuransi jiwa di Indonesia, dari sekarang ini di level 2,8% menjadi setidaknya di level 7%. Ini bukan pekerjaan mudah. Ujung tombak dalam hal penetrasi memang ada di tangan para agen asuransi seperti dikatakan Jens Reisch.

        Meskipun begitu, AAJI menghimbau agar perusahaan asuransi jiwa mempersiapkan diri menghadapi tantangan perkembangan digital yang mulai terasa di sektor asuransi. ?Strategi bisnis perusahaan yang memanfaatkan teknologi digital secara terintegrasi akan membantu perusahaan dalam memperluas pasar yang ujungnya akan meningkatkan penetrasi asuransi,? ujar Hendrisman Rahim.?

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Heriyanto Lingga
        Editor: Ratih Rahayu

        Bagikan Artikel: