Kewenangan fiskus atau petugas pajak untuk menggunakan metode lain dalam menghitung peredaran bruto membuka celah penyimpangan. Kewenangan ini terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018.?
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Tax Center Ajib Hamdani mengatakan agar tidak terjadi penyimpangan, perhitungan peredaran bruto atau omzet berdasarkan data primer, yakni laporan keuangan.
Perhitungan peredaran bruto atau omzet harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Karena itu, perhitungannya berbasis data primer, yakni laporan keuangan. Metode lain hanyalah alternatif," kata Ajib di Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Ia pun mengatakan metode lain berdasarkan data sekunder belum tentu menerangkan kondisi Wajib Pajak. Data sekunder jangan dijadikan rujukan yang utama.
"Banyak faktor yang menerangkan keadaan yang sebenarnya Wajib Pajak, antara lain skala bisnis, jumlah produksi, harga beli, dan harga jual. Hal ini akan berbeda jika menggunakan data sekunder," katanya.
Ajib kemudian mengatakan perhitungan peredaran bruto atau omzet harus fair. PMK Nomor 15 Tahun 2018 jangan disalahgunakan.
"Jangan hanya untuk mengejar penerimaan, segala cara digunakan. Perhitungan (peredaran bruto atau omzet) harus tetap memperhatikan aspek keadilan dan kepastian hukum," kata Ajib.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ning Rahayu
Editor: Fauziah Nurul Hidayah
Tag Terkait: