Pada satu titik, manajemen PT PP menyadari bahwa apabila perusahaan tidak melakukan transformasi diri, akan dilibas oleh perubahan dan perusahaan lain. Dari sinilah DNA sebagai perusahaan konstruksi berkaliber global sedang dibangun.
Dari kegalauan ini, Bambang Triwibowo mencoba mendiskusikan hal ini dengan salah seorang komisaris di PT PP, yakni Daryatno. Ia sampaikan apa yang menjadi kerisauannya. Dari percakapan itu, lahir gagasan untuk melakukan transformasi di tubuh PT PP. Pasalnya kalau hanya mengandalkan laba bersih bisnis jasa konstruksi, hasilnya kurang memuaskan. Ia bersama jajaran direksi ketika itu pun menyepakati untuk menggarap bisnis yang masih terkait dengan jasa konstruksi.
"Langkah utama untuk membesarkan PT PP dengan tidak mengandalkan 100% proses bisnis pada konstruksi, tetapi harus dibarengi dengan bisnis-bisnis yang lain, yang tetap related dengan bisnis konstruksi," tulis Bambang Triwibowo sebagaimana tertuang dalam buku Transformation by Heart PT PP yang diterbitkan Bisnis Indonesia pada 2015.
Bisnis baru yang dimaksud seperti EPC (engineering, procurement, construction), properti, pracetak, peralatan konstruksi, dan investasi.
Untuk menangkap peluang bisnis tersebut, perusahaan melakukan tansformasi organisasi. Bisnis EPC dan investment masih digarap langsung PT PP. Sementara untuk menggarap bisnis properti, komersial, residensial, dan perhotelan (hospitality), PT PP membentuk anak usaha yakni PT PP Properti. Untuk menangani bisnis pracetek (pre-cast), pembangunan perkotaan, dan konstruksi perkotaan, didirikanlah PT PP Urban. Untuk menggarap bisnis peralatan konstruksi yang menggarap pekerjaan sipil, ready mix, foundation, bekisting, dan sewa alat berat, dibentuk PT Presisi Tbk.
Lima bisnis tersebut boleh dibilang pasar yang masih terbuka lebar atau meminjam istilah ilmu manajemen sebagai pasar yang masih blue ocean. PT PP menerjemahkan istilah sendiri untuk menggambarkan pasar blue ocean tersebut sebagai pasar sapi?yang dagingnya tebal, sedangkan pasar jasa konstruksi dikelompokkan sebagai pasar kambing yang dagingnya lebih tipis. Dari sisi perolehan margin laba dan pasarnya, ini sudah begitu sumpek dengan ketatnya persaingan antarperusahaan jasa konstruksi yang terhimpun dalam Gabungan Pelalaksana Konstruksi Indonesia (Gapensi).
Data anggota Gapensi per Maret 2018 manampilkan ada 43 ribu perusahaan dari sebelumnya 80 ribu perusahaan. Itu artinya, ada 37 ribu perusahaan yang gulung tikar dengan berbagai sebab. Misalnya, kalah bersaing sehingga tidak mendapatkan proyek atau mendapat proyek tapi tidak dibayar-bayar yang bikin bangkrut. Lawan tarung juga berasal dari luar anggota Gapensi, seperti 323 perusahaan jasa konstruksi asing yang beroperasi di Indonesia.
Menurut Sekjen Gapensi, Andi Rukman Karumpa, persaingan dalam merebut proyek infrastruktur pemerintah terbilang sengit. Lawannya bukan lagi BUMN Karya, tapi anak-anak usaha dan cucu usahanya. "Ada kalanya proyek pemerintah itu bukan menjadi berkah tapi jadi petaka bagi kontraktor yang tidak memiliki kecukupan modal," ujar dia.
Mendapatkan proyek pemerintah berskala kakap membuat persaingan antar-BUMN pun tak kalah sengit. Hal itu tidak dipungkiri Presiden Direktur PT Hutama Karya, Bintang Perbowo. Ia menampik bahwa mentang-mentang BUMN lalu mendapat dispensasi mendapatkan proyek infrastruktur. Kecuali perusahaan mendapat penugasan langsung dari pemerintah. Misalnya, PT Hutama karya dipercaya garap Jalan Tol Trans Sumatra.
"Terkadang untuk menggarap proyek pelabuhan seperti Makasar Port di mana perusahaan belum memiliki kompetensi, mau?tidak mau berkolaborasi dengan Wijaya Karya," ujar mantan orang nomor satu di WIKA.
Ketatnya persaingan dalam memenangkan proyek infrastruktur itulah yang mendorong PTPP mesti menyeleksi proyek-proyek berdaging tebal seperti pasar sapi?yang akan digarap. Dengan mulai condong ke pasar sapi, kinerja perusahaan ikut melonjak.
Ketika awal menggulirkan program transformasi di PT PP, pendapatan perusahaan tercatat Rp8 triliun. Dari jumlah itu, sekitar 81% atau sebesar Rp6,5 triliun bersumber dari bisnis jasa konstruksi; 17% atau senilai Rp1,4 triliun dari bisnis EPC; dan 2% atau setara Rp160 miliar dari bisnis properti.
Proyeksi pendapatan perusahaan untuk 2018 sebesar Rp28,5 triliun yang bersumber dari sektor jasa konstruksi, menyusut jadi 51% atau senilai Rp14,5 triliun. Bisnis properti perusahaan diproyeksi mulai menjadi penyumbang yang signifikan yakni 20% atau sebesar Rp5,7 triliun disusul EPC dan pracetak masing-masing 11% setara Rp3,1 triliun.
Dari gambaran pendapatan yang terus membesar dari pasar sapi?tersebut, sudah barang tentu profil laba bersih yang diperoleh lebih gemuk. Kalau pada 2012 laba bersih perusahaan tercatat Rp310 miliar, meski merayap namun terus meningkat menjadi Rp420 miliar pada 2013, Rp532 miliar (2014), Rp730 miliar (2015), dan Rp1,7 triliun (proyeksi 2018). Dengan gambaran seperti ini langkah transformasi perusahaan sudah berjalan pada rel yang pas. Bahwa daging empuk itu ada di pasar sapi di luar bisnis jasa konstruksi yang memang sudah menjadi core business & competency perusahaan sejak dibentuk pada 26 Agustus 1953 dengan nama NV Pembangunan Perumahan.
Beyond The Name
Debut NV PP dimulai ketika dipercaya pemerintahan Oder Lama untuk membangun proyek-proyek monumental dari hasil rampasan Perang Dunia II, seperti Hotel Indonesia (Jakarta), Bali Beach Hotel (Denpasar), Samudera Bali Beach (Sukabumi), dan Hotel Ambarukmo (Yogyakarta). Di luar itu, perusahaan tercatat sebagai pembangun Gedung DPR/MPR, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Teluk Bayur, Batam Tonton Cable Stayed Bridge, dan Bandara Kualanamu di Medan. Derap laju perusahaan pun mulai merambah ke berbagai bisnis di luar jasa konstruksi.
Dari sinilah muncul gagasan untuk mengganti nama perusahaan dari PT Pembangunan Perumahan menjadi PT PP pada 1994. Dengan nama baru itu, diharapkan daya lenting perusahaan lebih eksponensial melampaui namanya (beyond the name). Maksudnya, PT PP berharap tidak dikenal sebagai perusahaan jasa konstruksi saja, tetapi juga multitalent dan kompetensi, seperti jagoan di proyek EPC, properti, investment, pracetak, energi, dan peralatan konstruksi.
"Kami berupaya menjadi spesialisasi di semua lini bisnis yang digeluti perusahaan," ujar Presiden Direktur PT PP, Lukman Hidayat.
Dengan spesialisasi itu akan membangun daya saing PT PP dan anak-anak usaha baik yang sudah go public?maupun yang belum agar semakin naik kelas. Untuk bisnis EPC, PT PP berada di urutan teratas dalam hal keandalan SDM (expertise) meninggalkan EPC dari BUMN Karya lainnya dan kontraktor swasta.
Dwiwindu sejak pergantian nama atau persisnya pada 2010, PT PP mencatatkan diri di Bursa Efek Indonesia (BEI) melepas 1,04 miliar saham dengan harga perdana Rp560 per lembar saham. Emiten dengan kode PTPP ini menangguk dana Rp560 miliar saat IPO. Per Juli 2018, rerata harga saham PT PP diperdagangkan di level Rp2.200-an per lembar saham, atau melonjak empat kali dari harga awal dengan nilai market capitalize?sebesar Rp20,2 triliun.
Dalam Market Outlook 2017 Construction Sector yang dirilis Ciptadana Sekuritas Asia tergambarkan kinerja BUMN Karya yang sudah go public, seperti Wijaya Karya, Waskita Karya, PT PP, dan Adhi Karya membukukan kinerja positif. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintahan Jokowi yang menggeber pembangunan infrastruktur. Pada market outlook tersebut diperlihatkan lonjakan yang cukup signifikan di pos government infrastructure spending mulai 2015 sebesar Rp256 triliun, naik jadi Rp314 triliun pada 2016, lalu jadi Rp347 triliun pada 2017, hingga Rp404 triliun pada 2018.
Di antara BUMN Karya yang sudah go public tadi, merujuk outlook Ciptadana, kinerja PT PP termasuk yang moncer pada 2017. Meski dalam hal perolehan nilai kontrak baru ada di bawah Waskita dan WIKA, tapi indikator lain seperti perolehan EBITDA dan return on equity (ROE) termasuk oke.
Kinerja PT PP pada kuartal IV-2018 diperkirakan akan solid dengan peningkatan kontrak baru sebesar Rp9,5 triliun pada kuartal I-2018. Pendapatan perusahaan diproyeksikan mencapai Rp24,8 triliun sampai akhir 2018 dengan laba bersih sebesar Rp1,8 triliun.
"Dengan profil kinerja seperti itu, saham PT PP masuk rekomendasi untuk dibeli," ujar analis Ciptadana Sekuritas Asia, Arief Budiman.
ASEAN Class Company
Kiprah PT PP enggak mau hanya menjadi jagoan di negeri sendiri. Portofolio reputasi perusahaan coba dikembangkan hingga ke luar negeri melalui Divisi Luar Negeri PT PP. Sejumlah proyek infrastruktur di luar negeri pernah digarap perusahaan. Misalnya, pembangunan Kantor Ministry of Finance Republik Timor Leste, proyek properti di Timur Tengah dan di Filipina.
Sayangnya, setelah proyek-proyek tersebut tuntas digarap, belum ada lagi keberlanjutannya. Di sinilah Lukman Hidayat bersama tim memutar otak dalam forum Makan Enak Omong Kemajuan (MEOK) yang biasa digelar perusahaan pada hari Senin. Di forum ini, isu-isu krusial dibahas secara rileks sambil mencicipi suguhan kuliner maknyuss?meminjam istilah almarhum Bondan Winarno?dari berbagai daerah.
Dari obrolan di MEOK ini, strategi baru untuk masuk di pasar infrastruktur regional seperti ASEAN pun dicanangkan kembali dengan kemasan yang berbeda. Sebelum ini hanya menggarap proyek jasa konstruksi yang hit and run (setelah beres, tinggalkan). Tetapi untuk ke depannya, sekali PT PP masuk di satu negara, dipikirkan pula keberlanjutannya (sustainablity).
Caranya? Menurut Lukman Hidayat, tentu dengan tidak menawarkan diri sebagai perusahaan kontraktor yang notabene di negara tujuan juga sudah banyak jawara lokalnya. Siasat yang dipakai, masuk sebagai pengembang proyek (developer), seperti properti, gedung perkantoran, apartemen, mal, hotel, dan lainnya. Dengan strategi ini, bukan hanya pekerjaan jasa konstruksi diperoleh, tapi juga benefit dari jualan properti, penyewaan kantor, dan room hotel.
"Rasanya lucu saja kalau visi kami ingin menjadi ASEAN Class Company, tapi tidak punya proyek-proyek di luar negeri," ujar Lukman Hidayat.
Untuk masuk ke pasar jasa konstruksi, EPC, properti, investasi, pracetak, dan peralatan konstruksi di luar negeri, ia sudah berhitung masak merujuk pada pengalaman menggarap proyek serupa baik di dalam maupun luar negeri sebelumnya. Prinsip dalam menggarap proyek jasa konstruksi dan infrastruktur di luar negeri sama dengan di dalam negeri, bahwa PT PP hanya akan menggarap proyek-proyek berskala besar?proyek bernilai triliunan rupiah?dengan kandungan teknologi tinggi.
Contoh megaproyek itu seperti Bandara Kulon Progo di Yogyakarta dengan nilai Rp6 triliun yang digarap perusahaan. Proyek-proyek kakap lain yang digarap PT PP, seperti proyek dua paket runway Terminal AP II senilai Rp1,5 triliun, pembangunan Gedung BNI senilai Rp1 triliun, IPP PLTU Power Plant Meulaboh 2x200 MW (Rp1,83 T), IPP PLTG Bangkanai 2x150 MW (Rp1,32 T), dan Jalan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar Paket 1 (Rp1,13 T). Proyek lainnya, seperti proyek pelabuhan peti kemas laut dalam di Kalibaru, Jakarta Utara, milik PT Pelabuhan Pelindo II dengan nilai Rp11 triliun yang menandingi Port of Singapura yang sanggup menyandarkan kapal peti kemas berskala besar dengan bobot 18.270 TEUs (tewnty feet equivalent).
Serangkaian panjang menggarap proyek-proyek infrastruktur tersebut bakal menambah deret portofolio pengalaman dan kompetensi SDM perusahaan. Dalam menggodok SDM andal, perusahaan punya Corporate University PT PP. Perusahaan bersama dengan Prasetya Mulya merancang program MBA dengan masa studi enam bulan di dalam negeri dan enam bulan di Australia. Bahkan, perusahaan menyekolahkan pegawai untuk belajar ke luar negeri.
Selain bermodal SDM andal, ditopang pula manajemen proyek yang efisien dengan memanfaatkan sistem enterprice resources planning (ERP) SAP, building infomation management (BIM), pemberlakuan prinsip green contractor untuk membangun green building, hingga uji coba pemakaian printer tiga dimensi (3D). Yang terakhir ini adalah hasil kerja sama dengan perusahaan asal Rusia, Apis Cor. Semua upaya tersebut akan bermuara pada level kompetensi perusahaan yang naik lagi menjadi perusahaan jasa konstruksi ++ (plusplus).
Kini, dengan usia perusahaan memasuki 65 tahun pada 26 Agustus 2018, tapakan langkah PT PP pun mulai bersiap diri memasuki battle-battle di masa depan dengan mengusung tema Empowering The Future. Ia bersyukur bahwa para presiden direktur pendahulunya telah meletakkan fondasi yang kokoh, seperti membawa perusahaan masuk ke bursa di era kepemimpinan Musyanif. Setelah itu, hadir Bambang Triwibowo (2011?2015) yang menggulirkan program transformasi di tubuh PT PP. Kemudian dilanjutkan Tumiyana (April 2016?2017) dengan gagasan memburu proyek-proyek kakap hingga sampai ke tangan Lukman Hidayat.
"Siapa yang jeli, pandai membaca situasi, dialah yang layak memimpin program kelanjutannya," pesan Bambang Trwibowo dalam epilog di buku Tranformation By Heart PT PP. Tampuk itu kini ada di tangan Lukman Hidayat yang berupaya merengguh kejayaan PT PP di masa depan guna memaknai Empowering the Future.
Menurut Managing Director Lembaga Manajemen FEB Universitas Indonesia, Toto Pranoto, proses regenerasi dari internal perusahaan itu yang penting adalah calon tersebut memiliki DNA leadership. Suksesi Tumiyana ke Lukman Hidayat justru memberi nilai plus karena Sang Penerus merupakan kader internal perusahaan yang sudah menguasai nature business perusahaan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: