Masih terdapatnya konflik terhadap draf Rancangan Undang-undang Sumber Daya Air (RUU SDA) menunjukkan bahwa RUU itu masih perlu penyempurnaan lebih lanjut.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan jika tidak dilakukan penyempurnaan maka akan sangat menghambat rencana pemerintah untuk bisa mewujudkan 100% akses air bersih.
?Jadi semangat dari pembuatan Undang-undang SDA itu jangan sampai menghilangkan atau merugikan hak konstitusional warga negara untuk bisa mendapatkan air bersih yang layak,? ujar dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (18/9/2018).
Lanjutnya, Ia menyarankan untuk berhati-hati dalam penyusunan draf RUU SDA ini. Menurut Jimly, penyusunan pasal-pasal dalam RUU SDA itu harus didasarkan atas hasil riset yang mendalam. Artinya, semua stakeholder harus dilibatkan dalam penyusunannya dan harus aktif memberikan masukan. ?Karena, akan berbahaya kalau penyusunan pasal-pasal di RUU SDA itu tidak didasarkan atas pengetahuan yang mendalam dan mendetail serta lebih matang lagi. Jadi sebaiknya RUU SDA itu jangan buru-buru disusun,? ucapnya.?
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, draf RUU yang dibahas saat ini belum dirumuskan dengan baik. Para penyusun masih mencampuradukkan pemikiran sumber daya air sebagai fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Ini berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi dunia usaha dan perekonomian Indonesia.
?Seharusnya negara bisa memberikan upaya untuk menjaga iklim investasi dan perlindungan usaha. Namun alur pemikiran dalam RUU ini malah membangun ketidakpastian usaha, lantaran tercampur aduknya pengelolaan sumber daya air sebagai fungsi sosial dan fungsi ekonomi,? ucapnya.
Ia?menjelaskan, setidaknya terdapat beberapa hal strategi yang berpotensi merusak iklim investasi di Indonesia. Pertama, Ia mempertanyakan arah tujuan RUU SDA, ingin mencari pemasukan bagi negara atau mengatur kelancaran investasi yang berimbang dengan kebutuhan masyarakat. Menurutnya, terdapat pasal-pasal yang memberatkan bagi dunia usaha, yakni pungutan dalam bentuk bank garansi dan kompensasi untuk konversi SDA minimal 10% dari laba usaha. Hal itu terdapat dalam Pasal 47 RUU SDA menegaskan izin penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha dapat diberikan kepada pihak swasta setelah memenuhi syarat tertentu dan ketat. Minimal, syarat yang harus dipenuhi salah satunya adalah menyisihkan paling sedikit 10 persen dari laba usaha untuk konservasi SDA.
Kedua, Danang menilai arah RUU SDA belum memiliki orientasi perbedaan yang jelas tentang kewajiban negara dalam menyediakan air bersih dan air minum bagi masyarakat dan sekaligus kewajiban negara dalam membangun perekonomian yang memajukan masyarakat dunia usaha. Kelemahan ini tercantum di dalam Pasal 51 ayat (1) RUU dan? Penjelasannya.?
Ketiga, arah RUU belum mengedepankan perlindungan sumber air, seperti terbaca dari Penjelasan Pasal 63 huruf f.?
Keempat, pengusaha menilai arah RUU ini menempatkan pengusaha atau swasta dalam daftar prioritas terendah untuk mendapatkan izin pemanfaatan sumber daya air. Ini bisa disimpulkan dari rumusan Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (3) RUU.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: