Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa dia telah meminta Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJSN) untuk melibatkan dan berkolaborasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam pembenahan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS), khususnya defisit anggaran yang dialami BPJS Kesehatan.?Jokowi juga akan turut berdiskusi dengan IDI dan pihak-pihak terkait lain.
"Mengenai BPJS, saya sudah tahu semuanya. Tapi, nanti saya akan ajak bicara, ini masalah manajemen. Inilah yang perlu kita perbaiki," ujarnya dalam sambutannya?di Muktamar IDI ke-30 di Samarinda sebagaimana tertulis dalam rilis yang diterima redaksi Warta Ekonomi.
Menurut Jokowi, pemerintah tengah berupaya mencari solusi terbaik untuk mengatasi defisit anggaran BPJS Kesehatan. Langkah pertama yang telah dilakukan ialah mengalokasikan anggaran sebesar Rp4,9 triliun untuk menutupi defisit tersebut.
Dia?juga menyebut sejumlah opsi yang mungkin saja bisa dipertimbangkan. Seperti efisiensi dalam tubuh BPJS Kesehatan, termasuk memperbaiki tata kelolanya. Selain itu, BPJS disebutnya?bisa mengintensifkan penagihan bagi penunggak iuran yang saat ini dinilai masih kurang optimal.
?"Yang masih tekor itu yang non-PBI (Penerima Bantuan Iuran). Penagihan ini harusnya digencarkan, di sini ada tagihan-tagihan yang belum tertagih. Ini harusnya digencarkan yang iuran ini," ucapnya.
Salah satu yang menjadi fokus utama IDI selama 3 tahun kepemimpinan Ketua Umum PB IDI - Prof dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG(K) adalah mengenai permasalahan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS) yang telah memasuki tahun ke-5. Program kesehatan untuk masyarakat ini disambut baik oleh IDI. Bahkan IDI telah bersepakat sebelum pelaksanaan JKN di awal tahun 2014 bahwa JKN ini harus berjalan baik, dan target Universal Health Coverage (UHC) di awal tahun 2019 harus tercapai. Namun capaian UHC harusnya juga dibarengi dengan mutu dari manfaat pelayanan dan kecukupan biaya kesehatan. IDI tetap mengawal agar mutu pelayanan yang diwujudkan dalam penerapan standar pelayanan dan standar prosedur operasional harus secara optimal diterapkan.?
Sementara itu,?Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI, Ilham Oetama Marsis menegaskan bahwa perbaikan sistem jaminan kesehatan harus dibarengi dengan perbaikan sistem kesehatan nasional. Perbaikan sistem?tersebut tidak lepas dari perbaikan SDM dan fasilitas kesehatan.
"Perbaikan sistem kesehatan nasional tentunya harus diikuti pula oleh perbaikan pembiayaan kesehatan. Pembiayaan kuratif yang dibebankan dalam JKN harus ditopang dengan pembiayaan preventif dan promotif kesehatan. Amanah UU Nomor 36 Tahun 2009 mengenai? minimal 5% dana kesehatan dari APBN dan 10% dari APBD harus ditunaikan," jelasnya.
Dia menambahkan, persoalan defisit dana JKN seharusnya?tidak terjadi karena sangat berdampak pada kualitas pelayanan?untuk masyarakat. Selain itu, dampak juga dirasakan pada ditunaikannya hak-hak dokter atas jasa medis.
"Belum diterimanya hak-hak tersebut selama beberapa waktu dan angkanya pun masih di bawah standar kepatutan bagi profesi yang mengemban tanggung jawab atas nyawa dan keselamatan pasien, tentunya secara manusiawi akan mempengaruhi sikap individual dokter. Namun, fakta di lapangan memang para dokter masih bisa bersabar berbulan-bulan dengan kondisi, di mana hak-haknya belum ditunaikan," urai Ilham.
Menurutnya, dugaan akan beban biaya yang disebabkan oleh tindakan medis yang tidak perlu seharusnya dapat diselesaikan dengan mekanisme Audit Medis yang menjadi domain IDI bersama perhimpunan profesi.
"Atas dasar ini, IDI seharusnya dilibatkan lebih dalam (involved), dalam penjagaan mutu pelayanan, bukan hanya dilibatkan sebagai pelengkap instrumen program JKN," tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Rosmayanti