Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Fraud, Biang Kerok Banyaknya BPR Dilikuidasi LPS

        Fraud, Biang Kerok Banyaknya BPR Dilikuidasi LPS Kredit Foto: Fajar Sulaiman
        Warta Ekonomi, Medan -

        Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan bank langganan yang dilikuidasi LPS. Dari Januari hingga Oktober 2018 saja, LPS telah melikuidasi lima BPR.

        Sementara dari 2006 hingga 2018, ada 90 BPR yang menjadi langganan LPS untuk dilikuidasi. Dari total itu, BPR di wilayah Jawa Barat paling banyak yang dilikuidasi, yakni sejumlah 32 bank.

        Direktur Grup Pengelolaan Transformasi LPS, Suwandi mengakui, mayoritas bank yang dilikuidasi LPS adalah BPR. Menurutnya, banyak penyebab BPR dilikuidasi, namun yang paling menonjol ialah karena adanya fraud di BPR.

        "(BPR dilikuidasi) Bukan karena persaingan, bukan kalah karena program KUR. Tapi, hampir semuanya karena fraud, baik yang dilakukan pengurus, direksi, pegawai bank itu sendiri," jelas Suwandi saat seminar nasional bertajuk 'Peran Strategis Bank Indonesia (BI) dan LPS dalam Memelihara Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia' di Medan, Sumatera Utara, Kamis (1/11/2018).

        Dia menuturkan, hal ini menunjukkan tata kelola BPR masih sangat buruk dan banyak yang perlu diperbaiki.

        "Jadi, itulah yang menyebabkan banyak BPR dilikuidasi. Ini menunjukkan tata kelola di BPR banyak yang perlu diperbaiki," ungkapnya.

        Adapun dari total 90 bank yang dilikuidasi tersebut, LPS mencatat total aset secara keseluruhan sebesar Rp598,2 miliar. Kemudian, total simpanan bank yang dilikuidasi mencapai 1,59 triliun. Sementara biaya yang dikeluarkan LPS untuk melikuidasi bank tersebut telah mencapai Rp96,4 miliar.

        Lahirnya UU PPKSK, membuat LPS dapat mengeksplorasi beragam opsi dalam penanganan bank gagal. Sebelumnya, LPS hanya bisa menyelamatkan bank gagal berdasarkan Penyertaan Modal Sementara (PMS) yang dinilai terlalu mahal.

        Dalam keadaan krisis, LPS diberi mandat mengaktivasi Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) yang memiliki wewenang hukum yang besar, seperti mengambil alih RUPS dan manajemen bank gagal, serta mengkonversi kewajiban bank menjadi modal.

        Selain itu, LPS juga memiliki opsi transaksi Purchase and Assumption (P&A) dan pembentukan bank perantara (bridge bank). Dengan opsi ini, biaya resolusi bank gagal bisa ditekan.

        "Sebelumnya kami terlalu konservatif, sekarang dibalik, aset dan kewajiban dipindahkan ke bank penerima, aset yang bagus diambil. Kalau aset lebih kecil, LPS membayar kekurangan biayanya, jadi mengurangi implikasi pendanaan," tukasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajar Sulaiman
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: