Ketua Komite Tetap Timur Tengah dan OKI dari Kadin Indonesia,?Fachry Thaib mengakui restriksi (kendala) atas kehadiran UU Jaminan Produk Halal (JPH) masih ada, baik restriksi implementasi secara operasional maupun administratif.
Namun menurutnya, semua hal itu harus disikapi pemerintah sebagai bentuk koreksi terhadap dukungan untuk kepentingan masyarakat, baik produsen maupun konsumen produk halal.
"Pada sisi lain, pemangku kepentingan dalam produk halal harus sepenuhnya mendukung keberadaan UU JPH dan juga BPJPH, tidak bermain di air keruh dan harus melepaskan kepentingan sektoral, sehingga tidak terkesan melemahkan keberadaan BPJPH," kata Fachry melalui siaran pers, Jumat (21/12/2018).
Menurut dia, proses pembentukan UU adalah proses politik, isi UU bisa digunakan sebagai instrumen kebijakan. Oleh sebab itu, Kadin Komtap Timur Tengah dan OKI sangat berharap Peraturan Pemerintah (PP) tentang UU JPH dapat segera ditandatangani Presiden RI agar dapat segera dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
"Kami memahami beban berat berada di pundak BPJPH yang akan bertanggung jawab dalam pelaksanaan PP UU JPH. Oleh sebab itu, kami sebagai pemangku kepentingan harus mendukung dan membantu BPJPH. Namun pada sisi lain, BPJPH harus realistis melihat kondisi dan fakta lapangan, terutama agar PP UU JPH ini tidak memberatkan pelaku usaha, terutama bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terkait biaya sertifikasi halal," terang fachry.
Dalam UU JPH, lanjut dia, perihal pembiayaan pembuatan sertifikat halal tersebut masih belum diatur secara jelas. Dalam Pasal 44 UU JPH disebutkan bahwa bagi pelaku UMKM, biaya sertifikasi halal dapat difasilitasi dari sumber atau pihak lain yang sah. Karenanya, Kadin mengharapkan masalah ini dapat secara rinci diatur dan diterjemahkan dalam PP JPH.
Di samping itu, kata Fachry, perlu diketahui dalam UU JPH maupun rancangan PP belum mengatur tentang produk ekspor, dan lahirnya UU JPH telah memberikan pencitraan positif dan dampak psikologis kepada negara-negara tujuan ekspor, terutama di kawasan Timur Tengah dan OKI bahwa Indonesia telah melakukan upaya terhadap perlindungan konsumen atas kehalalan produk, baik konsumen dalam negeri maupun pada sisi ekspor.
Menurut Fachry, produk halal Indonesia dalam 2 tahun terakhir menunjukkan tren yang positif. Fenomena kenaikan ekspor produk halal tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia. Kenaikan komponen perdagangan global produk halal ini telah menunjukkan bahwa produk halal ke depan akan menjadi komponen yang menentukan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi negara dan tentu akan terjadi persaingan perebutan pangsa pasar produk halal.
"Peluang bisnis di pasar produk halal global tidak terbatas pada produk pangan, tetapi menjangkau seluruh rantai produk halal, seperti kawasan industri halal, wisata syariah, termasuk hotel syariah," paparnya.
Menurut penelitian lembaga riset Dinar Standard and Crecent Rating, diperkirakan pada akhir 2018, turis muslim global mewakili ceruk pasar senilai US$181 miliar. Saat ini negara-negara nonmuslim, seperti Jepang, China, Korea, Hongkong, Selandia Baru, Australia, Swiss, dan Kamboja telah menyiapkan sarana dan prasarana halal bagi wisatawan muslim.
"Untuk memperkuat ekspor produk halal Indonesia dalam menghadapi persaingan secara global, Kadin mengimbau pemerintah segera menyiapkan perangkat peraturan atau keputusan menteri yang mengatur mengenai ekspor produk halal," pungkas Fachry.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Rosmayanti