Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kisah Sukses Ciputra: Anak Melarat, Sekarang Jadi Konglomerat

        Kisah Sukses Ciputra: Anak Melarat, Sekarang Jadi Konglomerat Kredit Foto: Agus Aryanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Tjin Hoan alias Ciputra merupakan anak melarat yang tinggal di Sulawesi Utara. Ia lahir di Parigi, kota kecil di Sulawesi Tengah, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ciputra menjalankan hidup sama seperti anak-anak lainnya, namun itu semua berubah ketika Sang Ayah meninggal dunia. Perekonomian keluarga terganggu dan ia jatuh miskin.

        Saat SMA tahun 1951, ia bersekolah di Don Bosco, Manado. Dia dikenal sebagai atlet lari jarak menengah 800 meter dan 1.500 meter, tidak ada yang bisa menandinginya se-Sulawesi Utara. Suatu hari, Pemerintah Kota (Pemkot) Manado meminta Sekolah Don Bosco mengizinkan Tjin Hoan bergabung dengan kontingen Sulawesi Utara untuk mengikuti Pekan Olahraga Nasional II di Lapangan Ikada, Jakarta.

        Anak laki-laki yang miskin itu sudah lama memimpikan ingin menginjakkan kaki di Ibu kota Jakarta. Setelah mendengar bahwa namanya direkrut untuk memasuki kontingen, ia begitu bahagia, "Bukan main! Ke Jakarta!" ungkapnya di dalam biografinya yang ia luncurkan 2017 lalu, "The Passion of My Life."

        Saat berkesempatan menyambangi Ibu kota dan menunjukkan kebolehannya dalam dunia lari, Ciputra dan kontingen lainnya menaiki kapal laut dari Manado ke Jakarta. Dengan penuh kegembiraan dan semangat, ia dan teman-temannya berjuang melawan atlet profesional dari provinsi lain. Namun, kala itu ia tidak berhasil pulang sebagai juara, tetapi ia berhasil masuk kualifikasi dan menembus babak final di nomor lari 800 meter dan 1.500 meter.

        Sebab namanya yang masuk ke babak final itu, ia diundang Presiden Soekarno ke Istana Merdeka. Ciputra begitu takjub melihat kemewahan di sana, dan di sanalah pertama kalinya ia menenggak Coca-Cola.

        "Anak miskin ini berada di dalam Istana. Saya memandangnya dengan takjub. Ketika menenggak itu (coca-cola) saya merasakan sensasi yang luar biasa," ungkapnya.

        Kehidupan Ciputra mulanya tidak miskin. Sampai di mana waktu Sang Ayah ditangkap oleh tentara Jepang, dan disandera karena dicurigai sebagai mata-mata. Di dalam tahanan, Ayahnya tutup usia. Sejak itulah, Ciputra yang saat itu baru berusia 12 tahun harus banting tulang untuk membantu keluarganya.

        Ciputra yang sebelumnya tidak pernah berkotor-kotor di kebun, terpaksa harus memeras keringat setiap hari mengolah tanah supaya dia sekeluarga bisa makan. Melalui para pendatang dari Sangihe Talaud, ia belajar berburu binatang di hutan.

        Setiap akhir pekan, dari pagi hingga petang, dengan bertelanjang kaki dan berkawan dengan duri, Ciputra memburu binatang untuk lauk makan keluarganya. Pulang dari hutan, biasanya dia selalu membawa babi hutan.

        Ditinggal pergi oleh Sang Ayah, Ciputra yang semulanya anak manja berubah menjadi kuat. Ia selalu mengingat nasihat almarhum, "Jika ingin sukses, lawannya bukanlah orang lain, tetapi diri sendiri."

        Singkat cerita, Ciputra mulai merintis usahanya sejak ia masih menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Bersama dua sahabatnya sesama mahasiswa ITB, Budi Brasali dan Ismail Sofyan, hanya bermodal ilmu arsitektur yang mereka dapat di kampus, mereka mendirikan CV Daya Tjipta.

        Awalnya, mereka berkeliling di sebuah garasi di Jalan Soetjipto, Bandung. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah di Bandung mencari orang yang bersedia memakai jasanya. Prosesnya itu berlangsung lama, sampai tiba waktunya Ciputra menikah dan memiliki anak, ia mulai bertanya kepada kawannya, sampai kapan mereka hanya bergantung dan menunggu orderan datang.

        "Saya harus membuat lompatan besar," ucapnya.

        Berangkat dengan keberanian, Ciputra memutuskan membawa keluarganya meninggalkan Bandung dan pergi ke Jakarta pada awal 1960-an. Dalam benaknya, melihat Jakarta yang sedah bebenah, tidak ada cara lain yang dapat ia tempuh untuk bisa mendapatkan proyek besar kecuali bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Soemarno Sosroatmodjo.

        Melalui bantuan mantan asisten Gubernur Soemarno, Mayor Charles, ia hendak bertemu dengan Gubernur.

        "Saya hanya ingin menyampaikan pemikiran saya untuk membangun Jakarta," kata Ciputra, dan keinginannya untuk bertemu dengan Sang Gubernur pun terwujud, siapa disangka, Gubernur Soemarno pun rela mendengarkan paparan gagasan Ciputra. Ia menunjuk Senen sebagai tempat di Jakarta yang harus dibenahi.

        Setelah mendengar pemaparannya, Gubernur Soemarno pun menyetujui dengan apa yang diucapkan Ciputra, namun masalahnya pemerintah saat itu tidak memiliki dana. Namun, Ciputra pantang menyerah. Ia terus bolak-balik Senen, dan terus memeras otaknya. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta bantuan kedua temannya terdahulu, Budi dan Ismail untuk sama-sama membenahi Senen.

        Beberapa hari kemudian, Gubernur Soemarno dan tim Ciputra diterima Presiden Soekarno untuk mempresentasikan konsep peremajaan kawasan Senen.

        Merasa masih anak bawang, Ciputra mengumpulkan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadap orang pertama di Indonesia. Dengan penuh saksama, Presiden Soekarno menyimak pemaparan Ciputra. Setelah panjang berbicara, Presiden Soekarno pun menyetujui rencananya. Namun, lagi dan lagi, uang menjadi kendala.

        Niat baik pasti akan menemukan jalannya. Gubernur Soemarno membantu Ciputra mengumpulkan pengusaha besar kala itu, seperti Hasjim Ning, dan Agus Musin Dasaad, juga sejumlah petinggi bank, seperti Jusuf Muda Dalam, bos Bank Negara Indonesia, dan Jan Daniel Massie, Direktur Utama Bank Dagang Negara.

        Kemudian, lahirlah PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya (Pembangunan Jaya) pada 3 September 1961. Sayangnya, proyek Senen ini tidak semulus rencana di atas kertas.

        Kali ini permasalahan datang dari pedagang dan penduduk yang sudah bertahun-tahun berada di Senen menolak pindah dan melawan sengit setiap upaya menggusur mereka. Perlu usaha sangat keras, berkeringat, dan berdarah-darah supaya proyek itu terus berjalan. Akhirnya, tiga blok berhasil mereka bangun, yakni Blok I, Blok II, dan Blok IV.

        Keberhasilannya di proyek Senen inilah yang menjadi pijakan pertama Ciputra hingga akhirnya perusahaannya beranak-pinak sampai sekarang. Ciputra dikenal sebagai konglomerat dan salah satu raja properti di negeri ini. Berdasarkan perhitungan majalah Forbes yang dilansir di Bulan November 2017, Tjie Tjin Hoan alias Ciputra berada di urutan ke-21 orang terkaya di Indonesia dengan harta senilai US$1,45 miliar atau Rp19,7 triliun.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Clara Aprilia Sukandar
        Editor: Clara Aprilia Sukandar

        Bagikan Artikel: