Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Mampukah Revitalisasi Pabrik Gula Atasi Masalah Produktivitas?

        Mampukah Revitalisasi Pabrik Gula Atasi Masalah Produktivitas? Kredit Foto: Antara/Yusuf Nugroho
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Revitalisasi pabrik gula diharapkan mampu mengatasi permasalahan produktivitas yang selama ini dihadapi industri gula nasional. Dari sebanyak 63 pabrik gula yang di negara ini, sekitar 40 di antaranya berusia lebih dari 100 tahun, dan yang tertua mencapai 184 tahun.

        Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) 2018, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektar di 2017. Jumlah ini lebih rendah daripada negara-negara penghasil gula lainnya, seperti Brasil sebesar 68,94 ton per hektare dan India sebesar 70,02 ton per hektare dalam periode yang sama.

        Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, salah satu penyebab rendahnya produktivitas gula lokal adalah banyak pabrik gula di Indonesia yang sudah sangat tua. Pabrik-pabrik gula ini perlu mendapatkan revitalisasi mesin produksi. Belum lagi mempertimbangkan kualitas tebu yang ditanam yang dipengaruhi oleh faktor geografis dan iklim lokal.

        Baca Juga: Petani Gula Minta HPP Naik, Pemerintah Bisa Kasih Solusi?

        "Permenperin nomor 10 tahun 2017 yang memperbolehkan penggunaan gula mentah impor untuk diolah dan secara bertahap digantikan dengan gula lokal ini diharapkan tidak hanya mendorong tumbuhnya produsen gula yang kualitasnya memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Peraturan ini juga diharapkan menjadi awal kebangkitan kondisi industri keseluruhan yang selama ini terperangkap dalam produktivitas yang rendah," jelas Ilman.

        Lahirnya pabrik baru di industri gula merupakan salah satu bentuk keberhasilan pemerintah dalam memberikan insentif bagi pelaku industri gula yang berencana berinvestasi atau bahkan memperluas bisnisnya.

        Bentuk insentif yang diatur dalam Permenperin nomor 10 tahun 2017 ini memberikan fasilitas akses bahan baku industri gula dalam bentuk pelonggaran impor gula kristal mentah selama kurun waktu tertentu. Namun, berbagai bentuk insentif ini juga harus diikuti ekosistem yang mendukung berkembangnya inovasi teknologi.

        Ilman menjelaskan, selama ini, impor gula secara umum dilakukan guna merespons jumlah kebutuhan dalam negeri. Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produksi gula nasional hanya mencapai 2,17 juta ton dan di saat yang sama impor gula mencapai 4,6 juta ton pada 2018.

        "Selain itu, impor gula juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kualitas gula. Saat ini, kualitas gula di Indonesia belum memenuhi seluruh kebutuhan industri pengguna gula, seperti industri makanan dan minuman tertentu dan industri kesehatan tertentu," jelasnya.

        Baca Juga: Oh ini Alasannya Gula Impor Dibutuhkan...

        Yang juga tidak kalah penting, secara bersamaan, kualitas gula lokal harus diperbaiki karena insentif ini bersifat terbatas dari segi waktu dan ada kewajiban untuk mengganti dengan penggunaan gula lokal secara bertahap. Dalam hal ini, pemerintah perlu lebih lanjut membangun ekosistem riset yang baik sehingga inovasi teknologi dapat memenuhi kebutuhan pabrik gula dalam menghasilkan gula yang berkualitas.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: