Digital diaspora yang satu ini adalah Kahlil Muchtar, AI Research Scientist di Nodeflux. Jebolan bidang studi computer science Asia University dan electrical and electronicals engineering National Sun Yat-Sen University ini memulai karirnya di ekosistem digital tahun 2014 lalu sebagai peneliti.
Berbeda dengan diaspora kebanyakan yang bekerja langsung di perusahaan teknologi, ia di-hire pihak kampus National Sun Yat-Sen University untuk memimpin proyek collaborative research "Multimedia R&D University Project" bersama Qualcomm dan didanai langsung oleh kantor pusat Qualcomm di San Diego, Amerika Serikat.
Bekerja bersama peneliti dan staff R&D Qualcomm, Kahlil benar-benar mengikuti research trend di bidang multimedia secara intensif yang tujuan akhirnya menemukan pendekatan terbaik yang efisien dan layak untuk dijadikan prototipte sebuah produk.
Kolaborasi yang dilakukan sangat efektif karena melibatkan bi-weekly meeting dengan peneliti Qualcomm San Diego dan dua kali dalam setahun melakukan rapat khusus dengan VP of Engineering Qualcomm untuk memantau kinerja setiap universitas dalam kolaborasi ini sehingga benar-benar memiliki output yang jelas.
Baca Juga: Digital Diaspora, Solusi Defisit Talenta Digital Indonesia
April 2018 lalu ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia karena alasan agar lebih dekat dengan kelurga dan bisa berkontribusi kepada bangsa. Tujuh tahun mengeyam pendidikan dan pengalaman kerja di Taiwan di rasa cukup baginya dan sudah saatnya untuk mengekstraksi pelajaran penting yang didapat dari Taiwan, khususnya budaya riset, academic-industry collaboration, dan perkembangan industri yang begitu cepat.
Ia sadar ada limitasi yang akan dihadapi di Indonesia dan memungkinkan diri untuk berkontribusi jauh lebih besar di Indonesia.
"Sehingga saya akhirnya memutuskan untuk join ke Nodeflux khusus di unit riset karena melihat peluang yang besar untuk berkontribusi di bidang AI dan computer vision, walaupun saya juga dapat tawaran dari sana (luar negeri)," kata dia kepada Redaksi Warta Ekonomi, belum lama ini.
Diakuinya, Taiwan memberikan pengalaman tersendiri di mana para talenta muda bisa merasakan ekosistem perusahaan yang sudah established (baik internship maupun permanent employment). Sehingga memungkinkan mereka cepat beradaptasi dengan iklim yang open, efisien, dan konstruktif.
Tidak jarang dari mereka memiliki career track yang jelas karena achievement yang didapat. Tidak jarang pula ada research internship yang secara reguler di-offer oleh tech company seperti Google, Facebook, Intel, Qualcomm, NVIDIA, Microsoft, dan lainya.?
"Taiwan sudah semaju Jepang dan Korsel secara culture riset, kesiapan infrastruktur industri dan SDM dikenal sebagai penghasil chip semi konduktor chip. Kolaborasi antar-akademisi dan perusahaan sangat erat, pihak kampus sering di-hire dan update ke perusahaan, ada juga hibah untuk bikin prototipe produk," tambah dia.
Sebagai AI research scientist yang bekerja secara remote di Aceh, Kahlil memiliki peran menggawangi riset IVA (image video analysis) khususnya anomaly detection, misalnya saat terjadi kecelakaan kendaraan, ledakan, atau tawuran di mana sistem AI harus bisa mendeteksi. Selama setahun terakhir juga ia sudah merilis empat publikasi ilmiah yang notabene bagi perusahaan Indonesia masih sangat jarang ditemui budaya riset selayaknya Google, Facebook, Nvidia, dan sebagainya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: