Kepala Staf Presiden, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, menilai tidak perlu ada dialog dengan Front Pembela Islam (FPI), jika mereka tidak mengakui Pancasila.
Moeldoko mengatakan, sia-sia jika berdialog tetapi tetap memaksakan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. FPI sebelummya mengajak debat pemerintah, karena merasa perizinan sebagai ormas dipersulit.
"Ya saya pikir itulah, jangan mengembangkan ideologi lain, sudah itu prinsipnya. Dengan tegas FPI ok ideologi saya Pancasila, selesai. Perilaku-perilaku Pancasila, selesai. Kan gitu.?Apalagi yang perlu didialogkan? Enggak ada yang didialogkan," ujar?Moeldoko, di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 6 Agustus 2019.
Menurut Moeldoko, tidak perlu ada dialog jika syarat-syarat utama yang diwajibkan tidak dilaksanakan. Apalagi ingin mengusung ideologi khilafah, menurutnya, tidak bisa jika seperti itu. Maka?Moeldoko menyarankan agar FPI mengubahnya. Tidak memaksakan ideologi selain Pancasila. Jika demikian, menurutnya, tidak ada masalah bagi pemerintah untuk berdialog.
"Kalau enggak mau mengubah apa yang perlu didialogkan. Jadi intinya tidak perlu dialog tapi FPI mengubah dengan sendirinya sudah selesai persoalannya," katanya.
Lebih baik lagi?jika FPI mau mendeklarasikan bahwa mereka adalah organisasi masyarakat yang patuh terhadap Pancasila, berideologi Pancasila. Baik itu dalam aturan dasar organisasi maupun dalam pergaulannya.
"Dilihat dari AD/ART tadi, dilihat dari perilakunya. Satunya kata dan perbuatan," kata mantan Panglima TNI itu.
Sebelumnya, Juru Bicara FPI Slamet Ma'arif menilai?bahwa pemerintahan saat ini memang mempersulit perpanjangan izin organisasi yang didirikan Habib Rizieq Shihab tersebut.
"Ya, yang kami rasakan itulah (dipersulit). Biasanya sebelum akhir masa habis ya sudah selesai. Ya ini lama. Mungkin kan katanya ada perbahan undang-undang ya. Gitu katanya. Tapi kan Pak Haji Munarman Sekum (Sekretaris Umum) yang paham betul," kata Slamet kepada wartawan, Senin, 5 Agustus 2019.
Slamet menuduh pemerintah semakin represif terhadap umat Islam yang ingin syariat Islam tegak. Sehingga menurutnya perlu duduk bersama untuk menampung perbedaan pemikiran politik.
"Ya saya pikir, perlu ada duduk bersama lah antara pemerintah dengan ulama-ulama yang tanda petik memiliki pemikiran politik yang berbeda, sehingga tidak terlalu panjang. Jadi kalau duduk bersama dengan yang selama ini bersama-sama saya pikir tidak akan menyelesaikan masalah," kata dia. (ase)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: