Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Efek Gas Rumah Kaca Capai Rekor Terburuk

        Efek Gas Rumah Kaca Capai Rekor Terburuk Kredit Foto: Reuters/Philippe Wojazer
        Warta Ekonomi, Washington -

        Tahun 2018 menjadi tahun terburuk dalam catatan pencemaran udara. Gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer bumi mencapai rekor tertingginya pada tahun tersebut. Jika dibandingkan dengan 1990, kekuatannya mengakibatkan pemanasan global 43 persen lebih kuat.

        Laporan terbaru itu dirilis American Meteorological Society (AMS) sebagai peringatan pada publik. Laporan berjudul Kondisi Iklim pada 2018 itu juga menyebutkan sejumlah penemuan penting yakni 2018 sebagai tahun terpanas pada tahun keempat berturut-turut. Tiga tahun terpanas lainnya adalah 2015, 2016 dan 2017, dengan 2016 sebagai tahun terpanas sejak pencatatan dimulai pada pertengahan 1800-an.

        Tidak hanya kondisi suhu dan udara, permukaan laut juga mengalami kenaikan ke level tertinggi sejak tujuh tahun terakhir. Gletser terus mencair dengan kecepatan yang semakin mengkhawatirkan dalam tiga dekade belakangan.

        Dalam laporan AMS juga paparkan ada sejumlah senyawa dominan yang dilepas gas rumah kaca pada 2018, yakni gas karbon dioksida, metana, dan nitrogen dioksida.?

        ?Setiap tahun sejak awal Abad 21 telah lebih panas dibandingkan rata-rata 1981-2010. Pada 2018, gas rumah kaca dominan dilepas ke atmosfer bumi, yakni karbon dioksida, methan, dan nitrous oksida, yang terus meningkat dan mencapai rekor baru tertinggi,? papar laporan tersebut, dilansir CNN.

        Laporan itu juga menemukan pengaruh pemanasan oleh gas rumah kaca pada bumi telah meningkat 43 persen sejak 1990. Konsentrasi karbon dioksida global yang mengakibatkan pemanasan global meningkat selama 2018 ke rekor 407,4 bagian per juta.

        ?Itu tertinggi dalam catatan instrumen modern dan catatan inti es sejak 800.000 tahun silam,? ungkap laporan itu.

        Laporan itu disusun oleh Pusat Informasi Lingkungan Badan Laut dan Atmosfer Nasional (NOAA) dan berdasarkan kontribusi dari lebih 475 pakar dari 57 negara. Laporan tahunan itu sering disebut para meteorologis sebagai "fisik tahunan sistem iklim".

        Salah satu penyusun laporan dan kepala Cabang Pemantau Iklim NOAA Deke Arndt menyatakan, para pakar selama dua dekade terakhir telah melalui tiga tahap fisik tahunan sistem iklim.

        "Ini dimulai dengan memantau suhu dan antisipasi terkait gejala, seperti kenaikan tinggi permukaan laut dan curah hujan tinggi. Lalu itu terkait gejala yang terlihat dan kami mulai mengantisipasi dampak merugikan. Namun dampak itu telah terlihat dan fisik tahunan telah mendokumentasikan beberapa," beber Arndt.

        Para peneliti menggunakan puluhan ribu pengukuran dari berbagai data independen untuk menyusun penemuan mereka.

        "Ini serangkaian laporan berdasar sains dan pakar lagi yang terus menyuarakan alarm tentang krisis iklim,? terang Profesor Marshall Shepherd dari Universitas Georgia. Sebagai pakar geografi dan sains atmosfer, dia juga mantan presiden American Meteorological Society.

        Shepherd menjelaskan, perubahan iklim bumi telah dapat disaksikan secara jelas, contohnya antara lain dalam bidang pertanian, air bersih, kesehatan masyarakat dan bahkan keamanan nasional.

        "DNA perubahan iklim jelas terlihat sekarang dalam cuaca kita, produktivitas agrikultur, masalah suplai air, kesehatan publik dan bahkan kekhawatiran keamanan nasional," lanjut dia.

        Dia menegaskan, internet dan media sosial telah digunakan banyak orang sebagai wadah menyuarakan keresahan akibat perubahan iklim yang kini sedang memburuk.

        ?Berbagai temuan dari laporan kondisi iklim muncul di atas beberapa blog atau opini di media sosial. Melalui proses sains, mereka menyuarakan alarm tentang krisis iklim di sini dan sekarang,? tegas dia.

        Laporan itu menambah banyak daftar studi yang memperingatkan dampak pemanasan global. Laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan makanan akan jadi langka dan krisis iklim akan mengubah jenis tanaman yang dapat ditanam para petani.

        Laporan lain dari pemerintah AS yang dirilis tahun lalu juga memperingatkan dampak perubahan iklim bahwa ekonomi akan mengalami kerugian ratusan miliar dolar atau dalam skenario terburuk, lebih dari 10 persen produk domestik bruto (PDB) AS.

        Laporan terbaru kali ini menyatakan, ketinggian permukaan laut meningkat untuk tahun ketujuh berurutan dan mencapai rekor tertinggi dalam 26 tahun sejak satelit mulai mencatat data itu. Ketinggian laut naik sekitar 81 milimeter di atas rata-rata 1993.

        ?Ketinggian baru itu mencerminkan tren yang sedang berlangsung. Tren yang berjalan dan perubahan tahun ke tahun pada ketinggian laut mempengaruhi komunitas pantai dengan semakin seringnya terjadi banjir dan erosi,? papar laporan tersebut.

        Ketinggian laut global naik dengan rata-rata 3,1 sentimeter per dekade. Laporan menemukan bahwa suhu permukaan laut semakin dingin sejak rekor El Nino 2016 tapi masih lebih hangat dibandingkan rata-rata 1981-2010.

        ?Laut dalam terus memanas dari tahun ke tahun. Untuk tahun ketujuh berurutan, rata-rata suhu tahunan global tertinggi dalam 26 tahun pencatatan. Seperti yang diperkirakan dalam iklim yang memanas, siklus hidrologi semakin cepat; wilayah kering semakin kering dan wilayah basah semakin sering diguyur hujan,? ungkap laporan itu.

        Laporan itu juga menjelaskan tren pemanasan global.

        ?Bersama kondisi rata-rata yang semakin panas di penjuru dunia, ada yang semakin positif dan ada yang semakin negatif, suhu ekstrem selama 2018 dibandingkan 68 tahun sebelumnya dalam catatan observasi,? papar laporan itu.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: