Ekspor dan impor berkontraksi sebesar 5,7% yoy dan 2,4% pada September serta berdampak pada defisit perdagangan sebesar US$161 juta. Melihat angka-angka yang lemah belakangan ini, DBS Group Research menilai pertumbuhan ekspor dan impor bisa jadi telah mencapai titik terendah.
Khususnya, defisit perdagangan kumulatif US$1,9 miliar dalam sembilan bulan pertama adalah setengah dari kekurangan US$3,8 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Ini mudah dikaitkan dengan fakta bahwa impor (-9,1%) turun lebih cepat dari ekspor (-8,0%) selama periode yang sama. Neraca perdagangan cenderung berfluktuasi antara surplus dan defisit (dalam kisaran ?US$500juta) dalam beberapa bulan mendatang.
"Ekspor dan impor diperkirakan masih lemah. Ekspor akan terus terbebani oleh perlambatan global," kata Masyita Crystallin, Kepala Ekonom DBS Indonesia melalui keterangan tertulisnya, Jumat (18/10/2019).
Baca Juga: Mendag Bilang Neraca Dagang RI Positif, Tapi Kok Masih Defisit?
Impor, lanjutnya, akan terjaga relatif rendah pada kuartal I 2020 karena investor menunggu pemerintah baru serta inisiatif mereka.
Volume Ekspor Sesungguhnya Meningkat
Mengupas efek harga dari perlambatan global, ekspor meningkat dari sisi volume, yaitu 7,5% YoY di Januari-September dibanding 13,4% pada periode yang sama di tahun lalu. Sebaliknya, volume impor berkontraksi meskipun lebih kecil 4,1% dibanding 8,1% untuk periode yang sama.
"Diarahkan oleh perlambatan aktivitas investasi secara keseluruhan, kontraksi impor kemungkinan akan berlanjut," ujar Masyita.
Pertumbuhan investasi telah menurun menjadi 5,0% di 1H19 dari 6,9% di 1H18 selama tahun pemilihan umum. Investasi pemerintah telah melambat karena lebih banyak proyek yang diselesaikan daripada proyek baru yang dimulai.
Investasi swasta sudah tidak terlalu aktif, namun harus segera dimulai setelah presiden dan wakil Presiden dilantik pada akhir bulan ini. Perlambatan pada impor bersifat umum; ketiga kategori, barang konsumsi, bahan mentah dan barang modal, berkontraksi.
Impor barang-barang konsumsi melemah oleh depresiasi rupiah pada 2017-2018, kebutuhan biodiesel pemerintah 20% (B20) (efektif 1 September 2018), dan tarif tambahan untuk lebih dari 1.000 barang konsumsi (efektif 12 September 2018).
Apresiasi terhadap rupiah (secara nominal dan dalam hal nilai tukar) pada tahun lalu telah membantu impor barang-barang konsumsi pulih menjadi 6,8% YoY pada September dari 2,0% pada Agustus.
Meskipun ada peningkatan pada impor barang konsumsi dan modal, pertumbuhan pada bahan mentah dan barang modal tetap negatif di -8,8% YoY dan 4,3% dalam sembilan bulan pertama.
Baca Juga: Duh! Neraca Dagang Indonesia September Defisit US$160,5 Juta
Lemahnya impor modal dan bahan baku secara umum, menyiratkan lebih banyak perlambatan pertumbuhan investasi dalam 1-2 kuartal berikutnya. Impor yang lebih rendah akan merugikan ekspor karena tingginya konten ekspor terhadap impor.
Karenanya, segala tindakan pembatasan impor yang melibatkan bahan mentah dan barang perantara untuk mempersempit defisit perdagangan akan menjadi kontraproduktif.
"Dengan fokus Bank Indonesia diseimbangkan antara mendukung pertumbuhan dan menjaga stabilitas rupiah, kami memperkirakan akan ada pemotongan suku bunga 25 bps pada kuartal IV 2019, yang kemungkinan dapat segera terjadi dalam bulan ini," beber Masyita.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: