Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan dan tiga orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR RI terpilih tahun 2019-2024. Tiga orang tersebut yakni Agustiani Tio Fridelina, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu yang juga orang kepercayaan Wahyu, Caleg PDIP Dapil Sumsel I, Harun Masiku, dan kader PDIP, Saeful.
KPK menangkap komisioner KPU, Wahyu Setiawan dan tiga lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Bandara Internasional Soekarno Hatta pada Rabu, 8 Januari 2020. Politikus Partai Demokrat, Andi Arief, dalam cuitannya di media sosial Twitter menyebut bahwa penangkapan itu menyeret staf Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Baca Juga: KPK Tak Jadi Segel Kantor PDIP karena Petugas Keamanan
Ketika dikonfirmasi wartawan, Hasto mengaku tak mengetahui keberadaan stafnya karena ia sedang diare dan sibuk mempersiapkan rakernas PDIP. Hasto juga mengatakan masih menunggu pernyataan resmi dari KPK.
"Sampai saat ini kita masih belum tahu karena itulah kita menunggu keputusan dan apa yang disampaikan oleh KPK. KPK akan menyampaikan press rilis terkait hal tersebut dan kami menunggu," kata Hasto di Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Hasto tak menampik bahwa sejumlah penyidik KPK mendatangi kantor DPP PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka bermaksud menggeledah ruangannya. Hasto mengaku tak ingin menghalangi upaya penyidik KPK untuk menuntaskan penyelidikan, tapi meminta agar ada surat resmi.
"Berdasarkan laporan kepala sekretariat dari PDIP, tadi memang datang beberapa orang dan kemudian sesuai dengan mekanisme yang ada tanpa bermaksud menghalang-halangi apa yang dilakukan di dalam pemberantasan korupsi. Yang kami harapkan adalah sebuah mekanisme adanya surat perintah," kata Hasto.
Menurutnya, bila ada surat perintah, tentu seluruh jajaran PDIP akan membantu kerja KPK. Namun, ia pastikan informasi terhadap adanya penggeledahan dan adanya penyegelan tidak benar.
"Tetapi kami tahu bahwa KPK terus mengembangkan upaya-upaya melalui kegiatan penyelidikan pasca OTT tersebut. Sikap partai adalah memberikan dukungan terhadap hal itu," kata Hasto.
Dia menegaskan, partainya tak kompromi terhadap berbagai tindak pidana korupsi. Ia menekankan perilaku korupsi adalah kejahatan kemanusiaan. "Itu adalah kejahatan kemanusiaan, partai terus melakukan edukasi, partai memberikan sanksi yang berat," kata Hasto.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat, mengaku tak tahu apakah penangkapan Wahyu Setiawan berkaitan dengan Hasto. Namun, ia memastikan, partainya akan menindak tegas jika ada oknum atau kader mereka yang terlibat kasus korupsi. "Akan ada sanksi tegas, sebagai bentuk kita betul-betul memberantas korupsi," ujarnya.
KPK menetapkan Wahyu Setiawan sebagai tersangka pada Kamis malam, 9 Desember 2020. Penetapan tersebut disampaikan Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar dalam konferensi pers di kantor KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 9 Januari 2020. "WSE (Wahyu Setiawan) dan ATF (Agustiani Tio Fridelina) diduga sebagai penerima (suap)," kata Lili.
Adapun sebagai pemberi, penyidik lembaga antirasuah menjerat Caleg PDIP Dapil Sumsel I, Harun Masiku dan kader PDIP, Saeful. Keduanya dijerat menggunakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Namun, Harun Masiku tak termasuk yang terkena OTT KPK.
"KPK meminta tersangka HAR segera menyerahkan diri ke KPK dan pada pihak lain yang terkait dengan perkara ini agar bersikap kooperatif," kata Lili. Pada perkara tersebut, KPK mengamankan uang suap sekitar Rp400 juta dalam bentuk uang Singapura Dolar.
Pergantian Antar Waktu Berujung Suap
KPK menerangkan, kasus suap yang menjerat Komisioner KPU dan kader PDI Perjuangan itu terkait dengan penetapan pergantian antarwaktu berkaitan dengan meninggalnya Caleg Terpilih dari PDIP, Nazarudin Kiemas pada Maret 2019. Menurut Lili, pada awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan seorang Advokat bernama Doni untuk mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU No 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.
"Gugatan ini kemudian dikabulkan Mahkamah Agung pada 19 Juli 2019. MA kemudian menetapkan partai adalah penentu suara dan pengganti antarwaktu," kata Lili dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020).
Penetapan MA ini kemudian menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Caleg PDIP Dapil Sumsel 1, Harun Masiku sebagai pengganti caleg yang meninggal tersebut. Namun, tanggal 31 Agustus 2019, KPU justru menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Alm. Nazarudin Kiemas.
"Dua pekan kemudian atau tanggal 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan pada 23 September mengirimkan surat berisi penetapan caleg," kata Lili.
Saeful kemudian menghubungi Agustiani Tio Fridelina serta melakukan lobi-lobi untuk meloloskan Harun Masiku sebagai caleg Pergantian Antar Waktu (PAW).
"Selanjutnya, ATF (Agustiani Tio Fridelina) mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari SAE (Saeful), kepada WSE (Wahyu Setiawan) untuk membantu proses penetapan HAR (Harun Masiku) dan WSE menyanggupi membantu dengan membalas 'Siap, mainkan!," kata Lili menjelaskan.?
Guna membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR RI dengan status PAW, Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan minta dana operasional Rp900 Juta. Proses pencairan dana dilakukan dalam dua kali pemberian. Salah satu sumber dana memberikan uang Rp400 juta untuk Wahyu melalui Agustiani, Doni, dan Saeful.
Baca Juga: KPK Minta Caleg PDIP Menyerah Saja, Daripada Buron
"WSE menerima uang dari dari ATF sebesar Rp200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan pada akhir Desember 2019. Kemudian HAR memberikan uang pada SAE sebesar Rp850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP," kata Lili.
Saeful kemudian memberikan uang Rp150 Juta pada Doni, sisanya Rp700 juta yang masih di Saeful dibagi menjadi Rp450 juta ke Agustiani dan Rp250 juta untuk operasional. Dari Rp450 juta yang diterima Agustiani, sejumlah Rp400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk Wahyu Setiawan. Ketika terjadi OTT, uang itu masih disimpan oleh Agustiani.
"Pada Selasa, 7 Januari 2020 berdasar hasil rapat pleno, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan HAR (Harun Masiku) sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal," kata Lili.
Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, Wahyu Setiawan lalu menghubungi Doni dan menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan agar Harun Masiku jadi PAW. Pada Rabu, 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh Agustiani. Setelah hal ini terjadi, tim KPK melakukan OTT.
"Tim menemukan dan mengamankan barang bukti uang Rp400 juta yang berada di tangan Agustiani dalam bentuk dollar Singapura," ujar Lili menambahkan.
Soal kasus PAW yang berujung OTT KPK, Hasto mengatakan partainya berpegang pada putusan MA. "Kalau proses pergantian itu kan ada keputusan dari MA. Bahwa ketika ada seseorang yang meninggal dunia. karena peserta pemilu adalah parpol, putusan MA menyerahkan hal tersebut ke parpol. Tapi keputusannya kan tetap ada di KPU. Kami tidak mengambil keputusan," kata Hasto.
Hasto menjelaskan, Harun dipilih untuk menjadi PAW Nazarudin karena bersih dan memiliki rekam jejak yang baik. Tapi ia tegaskan selain itu Harun dipilih karena ada putusan MA. "Kami itu pertimbangannya karena adanya putusan MA. Tanpa adanya putusan MA itu kami tidak mengambil keputusan terhadap hal tersebut," kata Hasto.
Ia menambahkan untuk melakukan PAW, partai diikat dengan UU partai dan KPU tak ada ruang gerak untuk bermain. Peraturan juga dianggal sangat ketat. Ia memastikan semua harus berpijak pada hukum.?
"PAW sudah dilakukan puluhan kali dan tidak ada sebuah proses negosiasi untuk PAW karena konfigurasi hukumnya sangat jelas dan nggak bisa hal tersebut dinegosiasikan," kata Hasto.
ICW Tetap Ragu
Penangkapan Wahyu Setiawan adalah OTT kedua yang dilakukan KPK pimpinan Firly Bahuri. Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan sejumlah orang menjadi sasaran OTT pertama KPK periode 2019-2023. Hanya selang sehari KPK beraksi kembali dengan menangkap Wahyu Setiawan.
Ketua KPK Firli Bahuri mengaku tak senang dan tidak bangga lembaga yang ia pimpin melakukan OTT secara beruntun di awal 2020. Ia justru sedih dan heran kenapa masih ada pejabat negara yang nekat melakukan tindakan korupsi.
Baca Juga: Anak Buah Diangkut KPK, Hasto Kena Diare
Mantan kepala Baharkam Polri itu mengaku prihatin dengan OTT tersebut. Padahal, KPK tidak pernah absen menyosialisasikan upaya pencegahan korupsi di lingkungan pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. "Tentu menjadi keprihatinan kita bersama di awal 2020," ujarnya.
"Saya tidak bahagia kalau masih saja ada kepala daerah yang tertangkap tangan [korupsi]," kata Firli.
Meski KPK baru memperlihatkan kerjanya, Indonesia Corruption Watch (ICW) tak menganggap apa yang dilakukan KPK saat ini adalah hasil kerja KPK pimpinan Firli Bahuri. Menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik, Donal Fariz, penangkapan yang dilakukan terhadap dua terduga penerima suap itu merupakan hasil kinerja penyidik.
"ICW apresiasi kerja penyidik KPK. Dua kasus OTT awal tahun ini merupakan kasus yang sudah diproses cukup lama," kata Donal. "Tentu saja yang paling layak kita apresiasi kinerja penyidik KPK itu sendiri," ucapnya menambahkan.
Donal mengatakan, kasus yang terkait Saiful dan Wahyu merupakan pengembangan atau kerja dari para komisioner lama beserta penyidik. Donal tak sepakat dua OTT besar itu diklaim sebagai kerja dari pimpinan KPK yang baru, Firli Cs.
Donald malah mengkhawatirkan, dua kasus suap baru-baru ini digarap akan dipetieskan. Bukan karena keraguannya terhadap pimpinan baru, tetapi karena pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang KPK yang baru hasil revisi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum