Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sabar Bos, Mungkin Wahyu Setiawan Itu Ujian buat KPK Era UU Baru

        Sabar Bos, Mungkin Wahyu Setiawan Itu Ujian buat KPK Era UU Baru Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menyebut kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan adalah batu uji bagi KPK hasil revisi. Sebab, kasus suap penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI itu menyeret kader PDI Perjuangan (PDIP) yang merupakan salah satu partai pengusung revisi Undang-Undang KPK itu sendiri.

        "KPK harus memperlihatkan bawa mereka semakin kuat dari pada KPK yang lalu. Tapi, semakin hari kita lihat malah makin lemah," kata Ray saat konferensi pers di Kantor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Manggarai, Jakarta Selatan, belum lama ini.

        Menurut Ray, kelemahan itu tampak ketika petugas KPK tidak bisa menggeledah ruang kerja Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang ikut terseret dalam pusarankasus ini pada Rabu (8/1/2020) lalu. Bahkan sampai sekarang tidak ada terpasang garis polisi di sana. Barang bukti pun dikhawatirkan bisa raib.

        Baca Juga: Celetuk Said Aqil soal Kasus Wahyu Setiawan: KPK Harus Tajam ke Atas

        Lalu, lanjut dia, tim penyidik KPK juga tak bisa mengamankan Hasto yang tengah berada di Kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, pada Rabu. Saat tiba di Kompleks PTIK, tim KPK justru diperiksa dan diminta menjalani tes urine oleh polisi yang sedang bertugas di lokasi.

        Keterangan Wakil Ketua KPK, para penyidik datang ke PTIK hanya melaksanakan shalat. "Kok orang mau shalat dites urine. Apakah di sana memang setiap orang mau shalat harus tes urine," ucap Ray, heran.

        Ray pun semakin heran mengetahui pimpinan KPK tidak marah sama sekali ketika para penyidiknya diperlakukan seperti itu. Padahal, Ketua KPK Firli Bahuri juga dari kepolisian.

        Baca Juga: Ini Dalih KPK Belum Lakukan Penggeledahan buat Kasus Wahyu Setiawan

        Menurut Ray, bila semua upaya penangkapan dan penggeledahan terkait dengan PDIP terganjal izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK, tapi kenapa penangkapan Wahyu bisa dilakukan. Begitu pun penangkapan Bupati Sidoarjo dalam kasus berbeda.

        "Kalau semua ini tidak bisa dijawab KPK, maka asumsi orang akan semakin kuat bahwa KPK semakam lemah pascarevisi," ujar Ray.

        Pada sisi sebaliknya, lanjut Ray, PDIP juga tampak mempersulit pengungkapan kasus ini. Terlebih salah satu kadernya, Harun Masiku, yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, masih buron.

        PDIP, menurut Ray, mempersulit lantaran menanyakan surat izin Dewas terlebih dahulu kepada penyidik sebelum menggeledah ruangan Hasto. Upaya penggeledahan itu pun gagal

        "Artinya ide PDIP mengadakan Dewas itu (untuk) mempersulit penegakkan hukum dan menyenangkan para koruptor agar punya dalih macam-macam," kata Ray.

        Hasto telah membantah bahwa dirinya terlibat dalam kasus suap ini. Ia bahkan mengaku ada pihak-pihak yang sengaja mem-framing bahwa dirinya terlibat.

        Baca Juga: Uang Suap Wahyu Diduga dari Hasto, Kata Demokrat: Sang Sekjen Bakal Jawab, Saya Gak Tahu Apa-Apa

        ?Jadi dalam konteks seperti ini, (PDIP) menyerahkan sepenuhnya proses penegakan hukum tersebut tanpa intervensi,? kata Hasto di Rakernas PDIP, kemarin.

        PDIP bersama Nasdem, Golkar, PPP, dan PKB mengusulkan revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Meski ditolak publik, revisi berhasil yakni dengan keluarnya UU No 19 tahun 2019. Keberadaan Dewas KPK adalah salah satu buah revisi yang mulai berlaku pada 17 Oktober 2019 itu.

        Dalam kasus ini, KPK menetapkan KPU Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerimaan suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024. KPK juga turut menetapkan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, caleg DPR dari PDIP, Harun Masiku serta seorang swasta bernama Saeful.

        KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina diduga menerima suap dari Harun dan Saeful. Suap dengan total sebesar Rp 900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.

        Penetapan tersangka ini dilakukan KPK setelah memeriksa intensif delapan orang yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (8/1/2020).

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: