Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Anies, Banjir, dan Kepentingan Pilpres 2024

        Anies, Banjir, dan Kepentingan Pilpres 2024 Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Gubernur DKI Anies Rasyid Baswedan masih jadi figur yang disorot akibat banjir yang terjadi pada awal Januari 2020. Meski banjir tak hanya melanda Ibu Kota Jakarta, namun juga menerjang wilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi hingga Kabupaten Lebak, Banten.

        Banjir sudah surut dan tak ada lagi genangan di Ibu Kota. Namun, Anies tetap di-bully oleh sebagian warga. Eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu dianggap jadi biang penyebab lantaran tak siap mengantisipasi datangnya banjir.

        Hampir dua pekan pascabanjir surut, persoalan masih muncul. Ditandai dengan 243 warga korban banjir Jakarta yang mengajukan gugatan terhadap Anies di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/1/2020).

        Baca Juga: Anies Dinyinyirin Abu Janda Soal Kerja Bakti, Katanya...

        Para penggugat berharap dengan cara ini, Anies membayar kompensasi kerugian korban banjir sebesar Rp42,3 miliar. Gugatan ini didaftarkan dengan nomor 27/Pdt.GS/ClassAction/2020/PN.Jkt.Pst.

        "Gugatan kami buka soal banjir. Gugatan ini tentang tidak bekerjanya secara baik Pemprov Jakarta dalam mempersiapkan banjir," kata Juru Bicara Tim Advokasi Korban Banjir Jakarta, Azaz Tigor Nainggolan.

        Sehari setelah pendaftaran gugatan, ada aksi protes dengan menyambangi kantor Anies di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat. Massa yang mengklaim warga DKI ini protes soal banjir di Jakarta. Massa kontra Anies ini menamakan aksinya dengan Jakarta Bergerak. Mereka menuntut Anies mundur sebagai Gubernur DKI.

        Namun, aksi ini punya tandingan karena ada massa pendukung Anies yang aksi di Balai Kota DKI. Massa pro Anies ini menyuarakan pembelaan terhadap Anies yang sudah optimal soal banjir.

        Adanya gugatan sampai demo pun direspons oleh barisan pendukung Anies. Anggota DPRD DKI dari Fraksi PKS, Dedi Supriyadi heran dengan dua cara tersebut yang diniai keliru.

        Dedi menyebut gugatan tuntut ganti kerugian keliru jika ditujukan ke Pemerintah Provinsi DKI serta Gubernur Anies. Menurutnya, dalam persoalan banjir Jabodetabek, pemerintah pusat juga bertanggung jawab.

        "Pemerintah pusat melalui Pak Jokowi bukan sekali menyatakan bahwa masalah banjir Jabodetabek merupakan tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan daerah," kata Dedi, Selasa (14/1/2020).

        Dedi menambahkan, persoalan banjir di Jakarta harus dilihat secara obyektif dan jangan didasari benci. Selain curah hujan tinggi, kondisi lahan daerah aliran sungai di hulu Ciliwung dan Cisadane yang berada di luar Jakarta mengantarkan debit air besar, lumpur ke sungai yang melintasi Jakarta.

        "Jadi, secara logika saja, menuntut Pemprov DKI bertanggung jawab sudah sulit diterima," tutur Dedi.

        Namun, pandangan Dedi dibantah anggota DPRD DKI Fraksi PDIP, Gembong Warsono. Ia menilai wajar jika warga melakukan demo sampai menggugat Anies. Kata dia, Anies selaku Gubernur DKI dianggap tak bisa mengarahkan dan memimpin Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mengantisipasi datangnya banjir.

        "Program penanganan banjir harus terintegrasi dengan semua SKPD. Warga Jakarta kan sekarang menantikan eksekusi soal solusi banjir," ujar Gembong.

        Digugat dan diprotes, Anies masih irit menyampaikan pernyataan. Namun, pihak Pemerintah Provinsi DKI yang diwakili Sekretaris Daerah DKI Saefullah memberikan respons terkait gugatan class action 243 warga korban banjir.

        Saefullah belum bisa bicara resmi soal gugatan tersebut. Namun, ia mengatakan Pemprov DKI dipimpin Gubernur Anies sudah berupaya maksimal dalam penangan banjir Ibu Kota. Ia menyebut seluruh organ Pemprov DKI bahkan sudah dikerahkan saat pergantian malam tahun baru.

        "Yang jelas kami Pemprov DKI dipimpin Pak Gubernur merespons bencana ini dengan sangat singkat, cepat, seluruh aktivitas perdagangan, transportasi bisa berfungsi sesuai sediakala," kata Saefullah di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Januari 2020.

        Kepentingan 2024

        Aksi gugatan sampai demo ditangkap sebagai adanya kepentingan politik. Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan ada skenario yang terkesan untuk menjegal Anies Baswedan.

        Ujang menilai Anies sebagai figur potensial salah satu capres di Pemilu Presiden 2024. Maka itu, mulai aktif dijegal dengan sejumlah cara agar memunculkan pencitraan yang buruk.

        "Ini sepertinya ada skenario menjegal Anies. Kita tahu Anies merupakan salah satu capres potensial di 2024, jadi harus diblok dulu agar namanya jelek. Harus dijegal dulu agar tidak mulus," ujar Ujang, Selasa (14/1/2020).

        Dia menekankan, persoalan banjir juga mesti dilihat secara rasional. Persoalan banjir Jakarta bukan hanya tanggung jawab Pemprov DKI. Jika mau adil maka seharusnya gugat juga Pemprov Jawa Barat dan para bupati, wali kota terkait.

        "Karena banjir di Jakarta dan sekitarnya bukan hanya salah Anies. Tapi, juga salah pemerintah pusat, Gubernur Jabar dan para bupati dan wali kota di sekitaran Jakarta," tutur Ujang.

        Jubir Tim Advokasi Korban Banjir Jakarta, Azaz Tigor menegaskan gugatan class action tak ada kaitan dengan Pemilu Presiden 2024. Ia meminta aksi guatan ini jangan langsung dipersepsikan jauh untuk kepentingan lima tahun ke depan. "Enggak benar itu. Aksi ini sebagai tuntutan dan mengingatkan Pemprov DKI dan Anies agar sigap dalam antisipasi banjir," ujar Tigor.

        Anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Sarana memandang aksi gugatan dan demo muncul karena Anies selaku Gubernur DKI tak menjalankan janji yang disuarakan saat kampanye. Ia menyoroti kebijakan substansial yang penting terkait penanganan klasik seperti banjir yang belum terlihat selama kepemimpinan Anies.

        "Pak Gubernur tidak menjalankan apa yang sudah dijanjikan beliau soal banjir. Terlepas dari naturalisasi atau bukan yang penting dikerjakan," tutur Sarana.

        Pengamat perkotaan, Nirwono Joga berpandangan polemik banjir awal tahun yang terjadi di Jakarta karena dipicu kesalahan tata ruang. Ia mencontohkan wilayah Kemang, Jakarta Selatan yang menjadi langganan banjir.

        Banjir di Kampung Pulo Jakarta

        Joga menyebut Kemang pada 1980-an merupakan wilayah resapan air. Namun, seiring pertumbuhan permukiman yang tak terkendali membuat daerah elite itu sekarang jadi seolah 'tempat parkir' banjir. Persoalan tata ruang ini jadi persoalan karena membuat sistem drainase jadi amburadul.

        "Itu lah tidak heran kalau hujan airnya akan mencari daerah langganan banjir yang jadi tempat parkir," ujar Joga.

        Menurut Joga, persoalan ini juga menjadi pemicu banjir di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Menurut dia, dalam skala ini, dua persoalan penting mempengaruhi yaitu tidak teraturnya pemukiman di bantaran kali dan sistem drainase.

        Baca Juga: Anies Didemo Gegara Banjir, Jawaban Ahok Berkelas...

        Terkait itu, ia berharap pemerintah pusat dan daerah aktif berkoordinasi soal penataan sungai. Tak perlu mempersoalkan konsep normalisasi dan naturalisasi. Dua konsep ini menurutnya bisa dipadukan tergantung luas wilayah yang akan diterapkan. Namun, tetap perlu pembebasan lahan terutama konsep naturalisasi.

        Kemudian, ia menyarankan agar Pemprov DKI dan pemerintah daerah sekitar Ibu Kota punya rencana penataan kota yang bisa mengoptimalkan fungsi situ atau danau. Situ dinilai bisa berperan menampung debit air sungai bila meluap. Selama ini, penataan peran situ atau danau tak terancang dalam konsep penataan pembangunan.

        "Lakukan revitalisasi situ, danau, waduk. Karena sungai yang meluap itu bisa dialirkan dengan mengisi ke situ, danau, embung," kata Joga.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: