Virus corona atau Covid-19 yang dinyatakan pandemi dan penyebarannya terus meluas hingga ke Indonesia membuat cemas banyak pihak. Harvard Club Indonesia (HCI) merespons hal itu dengan menyelenggarakan forum diskusi bertema ?Virus Covid-19 di Indonesia, Apa yang Terjadi dan Apa yang Bisa Kita Lakukan?? dan menghadirkan panelis untuk menjaring masukan cara penanganan terbaik.
Baca Juga: Gagal Masuk Harvard, Ini Deretan Fakta Warren Buffett yang Jarang Diketahui
Dalam diskusi yang dilaksanakan secara virtual pada Sabtu (14/3/2020) itu, hadir para panelis yang kompeten dalam bidang kesehatan, serta bidang lain seperti ekonomi dan komunikasi, untuk mendapat gambaran penanganan penyebaran virus corona yang lebih komplet dan terarah.
Mengawali diskusi, mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, dirinya memahami keputusan pemerintah yang menempatkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai? Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona. Menurut Nafsiah, BNPB memiliki struktur gerakan yang matang, meski dalam kasus ini akan menghadapi tantangan besar dan memerlukan sumber daya yang besar untuk menjangkau wilayah kerja yang luas.
?Cara tepat terkait penanganan virus corona ini adalah harus lakukan pencegahan, deteksi, dan responsif,? ucap Nafsiah.
Dia melanjutkan, pemerintah juga perlu mengeluarkan kebijakan yang matang agar pencegahan virus tersebut dapat berjalan optimal. Dalam hal ini, pemerintah diharapkan memiliki kebijakan yang tidak menimbulkan kepanikan dan mampu menjaga agar wabah corona tidak berdampak pada terpuruknya perekonomian masyarakat.
?Perlu mempertimbangkan, karena ini semua terkait aktivitas dan penghidupan masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah?
Pusat dan Daerah harus siap dan komunikatif untuk mencegah, mendeteksi, dan menangani. Jika masyarakat sudah tahu dengan benar apa yang mereka lakukan, maka perubahan positif di akar rumput akan terlihat,? ujarnya.
Peneliti kesehatan global di Imperial College London Business School, Dian Kusuma, menyampaikan pemerintah dan pemangku kepentingan perlu melakukan tes masif untuk mendapatkan jumlah kasus riil sehingga dapat mengetahui besar masalah, di mana masalah, prediksi masalah, dan tingkat keganasan virus.
Dian menyampaikan, tes masif bisa dilakukan dengan drive-through untuk pengambilan spesimen dan jejaring lab untuk tes PCR. Kemudian, melakukan perbaikan dalam perawatan pasien Covid di rumah sakit, termasuk protokol medis, alat pelindung diri, tempat tidur memadai, obat dan bahan habis pakai.
?Perlu juga melakukan perbaikan penanganan di masyarakat luar termasuk etika batuk, salaman, cuci tangan, dan jarak sosial, sampai penutupan sekolah dan lockdown jika diperlukan. Koordinasi dengan kepala daerah dan pihak swasta terkait dukungan fasilitas kesehatan, training tenaga kesehatan, dan penyediaan alat pelindung diri,? ungkap Dian.
Sementara itu, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Panji Hadisoemarto; mengungkapkan, pemerintah harus menyampaikan informasi sesuai fakta terkait corona dan masyarakat harus kritis mengawal pendekatan pemerintah dalam menangani penyebaran virus tersebut.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pemerintah Indonesia menangangi virus corona, kata Panji, diperlukan data jumlah kasus, faktor risiko, cara transmisi, kecepatan penyebaran, serta intensitas infeksi.
?Kita perlu mengingat bahwa transmisi langsung sangat berpengaruh dalam peningkatan jumlah kasus dan kegiatan sosial yang memicu transmisi langsung sangat intens di masyarakat kita. Maka dari itu kita tidak boleh menganggap enteng hanya karena kita hidup di daerah tropis,? ujarnya.
Sejalan dengan itu, panelis selanjutnya, Bimo, Consultant USAID For Preparedness and Respond Emerging Pandemic Threat mengatakan, Indonesia mempunyai pengalaman menangani wabah flu burung melalui Permenkes No 658 tahun 2009 tentang Jejaring Laboratorium Diagnosis Penyakit New Emerging dan Re-emerging, atau disebut PINERE, sama dengan Covid-19 sebagai penyakit infeksi new-emerging.
Menurut Bimo, ada kategori lab pelaksana dan lab rujukan yang jumlahnya 44. Dalam Permenkes tersebut diatur lab pelaksana tidak boleh menetapkan hasil secara tersendiri karena prosedur? penetapan hasil diagnosis lab harus dilakukan dua laboratorium berbeda.?
?Bagaimana keadaan sekarang? Dari Buku Pedoman Kesiapsiagaan Covid-19? yang diterbitkan Kemenkes Februari lalu, pemeriksaan terpusat pada laboratorium Balitbangkes. Syukurlah bahwa sekarang sudah lebih terbuka dengan dilibatkannya lab Eijkman dan Universitas Airlangga. Masalahnya kedua lab tambahan itu di Jawa, Bagaimana dengan luar Jawa?,? ungkap Konsultan Kemenko PMK 2015-2019 tersebut.??
Sebagai lab PINERE, kata Bimo, semua lab dalam jejaring sudah disiapkan menjadi lab diagnosis dengan peralatan lengkap. Termasuk di antaranya beberapa lab unversitas di luar Jawa seperti lab Universitas Sriwijaya, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Udayana.
?Mereka punya kemampuan yang disiapkan sejak 2009, sehingga mudah difungsikan sebagai lab diagnosis Covid-19. Ini akan mendukung desentralisasi pemeriksaan laboratorium untuk Covid-19,? ucap Bimo.
Peneliti Utama Diagnostik Molekuler Kanker di Stem Cell and Cancer Institute, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo bahkan mengungkapkan, Indonesia terlambat dalam upaya penanganan karena awalnya mengira tidak ada kasus Covid-19. Dia menyarankan harus segera mengaudit kinerja prosedur tes lab oleh komisi independen yang bertanggung jawab menerbitkan panduan nasional bagi seluruh lab di Indonesia.
?Komisi ini juga yang akan melakukan pengawasan kinerja agar tes dilakukan, dilaporkan secara akurat dan tepat waktu,? ungkapnya.
Disamping tes RTPCR, kata Ahmad, sebagai standar emas konfirmasi Covid-19, komisi tersebut juga akan mengevaluasi teknologi Rapid Diagnostic Test (RDT) yang berbasis interaksi antibodi-antigen yang bisa dilakukan di point of care (POC) dalam tempo 20 menit.
?Tes ini bisa memberikan informasi bahwa individu ini telah terpapar virus minimal 5 hari sebelumnya. Di sisi lain, ada kemungkinan negatif palsu. Studi menunjukkan bahwa negatif palsu bisa terjadi sekitar 62%,? ucap Ahmad.
Lain halnya dengan Dosen Komunikasi UMN Serpong, Irwan Julianto, yang mengkritisi cara Kementerian Kesehatan dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat terkait virus corona. Dia berharap ada perbaikan pola komunikasi agar tidak terjadi kebingungan publik yang berpotensi memunculkan dampak sosial serta ekonomi.
Selain itu, Irwan juga meminta pemerintah memberikan informasi berkualitas terkait penyebaran dan penanganan virus corona di Indonesia. Dia tidak ingin semakin kuat kesan pemerintah mengentengkan masalah hingga Indonesia kehilangan waktu krusial dalam pencegahannya.
?Jangan sampai dampak sosial dan ekonomi menjadi lebih parah ketimbang dampak kesehatannya. Pemerintah harus bisa mengelola kepercayaan publik sebagai modal menghadapi masalah,? kata Irwan.
Lebih jauh, panelis Radju Munusamy MBA mengatakan, pemerintah dan sektor swasta harus berani mengorbankan sejumlah hal untuk sementara demi kebaikan jangka panjang. Dia menekankan yang paling utama adalah melindungi sumber daya manusianya.
Kata Radju, ada berbagai cara yang bisa dilakukan pemerintah dan pelaku bisnis akibat Covid-19, yaitu mengevaluasi rantai pasok perusahaan dan mengembangkan Business Continuity Plan misalnya melalui split operations, aturan kerja dari rumah, dan kebijakan pembatasan jumlah orang yang diperbolehkan dalam suatu acara. Semua risiko juga perlu dihitung untuk mengantisipasi dampak terburuk akibat virus tersebut.
?Penggunaan teknologi dapat dikedepankan untuk memastikan bisnis bisa berjalan dengan interaksi manusia yang minim, misalnya dengan rapat virtual dan conference call. Jika tidak ada panduan pakem dari Pemerintah, maka pelaku usaha sebaiknya membuat panduan sendiri berdasarkan best practices dari negara atau perusahaan lain,? pungkas Radju.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: