Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kebun Sawit Bukan Driver Deforestasi Tapi Upaya Reforestasi!

        Kebun Sawit Bukan Driver Deforestasi Tapi Upaya Reforestasi! Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Deforestasi merupakan fenomena normal yang terjadi dalam setiap proses pembangunan yang telah dilakukan oleh seluruh negara di dunia. Khusus di Indonesia, deforestasi sudah dimulai sejak masa kolonial dan makin masif pada masa Orde Baru.

        Meskipun deforestasi merupakan hal yang normal dalam proses pembangunan, namun isu ini telah digunakan untuk memojokkan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang dianggap sebagai driver utama dari deforestasi di Indonesia. Pandangan yang keliru tersebut perlu diluruskan agar tidak semakin merusak citra industri minyak sawit Indonesia.

        Mengutip laporan Palm Oil Indonesia, hutan Indonesia terus mengalami penurunan luas yakni dari 162,3 juta hektare pada 1950 menjadi 85,8 juta hektare di 2017. Sebaliknya, deforestasi di Indonesia mengalami peningkatan dari 68,1 juta hektare pada periode 1950?1985 menjadi 101,9 juta hektare pada periode 2000?2017.

        Baca Juga: Kelapa Sawit: Kami Hidup untuk Devisa Negara

        Di sisi lain, penambahan luas areal kebun sawit Indonesia juga mengalami peningkatan dari 105 ribu hektare menjadi 9,89 juta pada periode tahun yang sama. Jika dibandingkan proporsi penambahan luas areal kebun sawit dengan kasus deforestasi di Indonesia, maka hanya sebesar 0,4?9,7 persen dari luas deforestasi di Indonesia yang disebabkan ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit. Artinya, kebun sawit bukanlah driver utama dari deforestasi di Indonesia.

        Jika melihat sejarah, khususnya yang terjadi pada masa Orde Baru, ditemukan fakta bahwa penyebab utama terjadinya deforestasi di Indonesia yakni adanya aktivitas logging yang masif, jauh sebelum ekspansi kebun sawit dilakukan. Kegiatan logging yang masif dan intensif, khususnya di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, mengakibatkan banyak lahan hutan terdegradasi dan berubah menjadi semak belukar yang terlantar.

        Oleh karena itu, Pemerintah Orde Baru memiliki program untuk memanfaatkan lahan ex-logging tersebut, misalnya untuk transmigrasi dan pembangunan kebun sawit. Hal ini terkonfirmasi dari studi Fahmuddin dan Gunarso (2019) yang menunjukkan bahwa sebagian besar lahan kebun sawit Indonesia berasal dari agroforestry dan lahan semak belukar, sedangkan pangsa penggunaan hutan primer untuk kebun sawit sangat kecil.

        Studi tersebut juga semakin menguatkan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia bukan pemicu utama (driver) deforestasi, namun sebuah upaya reforestasi. Kebun sawit justru menghijaukan kembali ekologi, ekonomi, dan sosial masyarakat di wilayah yang rusak akibat logging pada masa sebelumnya.

        Baca Juga: Harga CPO: Bukan Pelan Asalkan Selamat, Tapi Pelan Bikin Skakmat!

        Dari segi ekologi, perkebunan kelapa sawit, antara lain menyerap karbondioksida, menghasilkan oksigen, menambah biomassa dan stok karbon, mengonservasi tanah dan air atau meningkatkan kapasitas menahan air, serta mampu menghasilkan biofuel pengganti solar yang mengurangi emisi karbondioksida.

        Secara sosial, perkebunan kelapa sawit meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, meningkatkan pembangunan pedesaan, dan memperbaiki ketimpangan pendapatan. Sedangkan secara ekonomi, perkebunan kelapa sawit meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan pembangunan ekonomi daerah, meningkatkan penerimaan pemerintah, serta menghasilkan devisa negara.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: