Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Apakah Selama Ini Data Covid-19 di Seluruh Dunia Bisa Dijamin Keakuratannya?

        Apakah Selama Ini Data Covid-19 di Seluruh Dunia Bisa Dijamin Keakuratannya? Kredit Foto: Reuters/Kevin Lamarque
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kapan kematian COVID-19 dianggap sebagai kematian COVID-19? Jawabannya tidak semudah yang dibayangkan, karena setiap negara memiliki metode berbeda untuk menentukan kasus COVID-19 atau menyatakan COVID-19 sebagai penyebab kematian seseorang.

        Beberapa negara, seperti Spanyol, melakukan tes post mortem, sementara Jerman, Inggris, atau Turki menganggap tes tersebut tidak umum dilakukan.

        Contoh lainnya, Belgia, menghitung semua kematian akibat virus corona di luar rumah sakit dalam statistik hariannya.

        Ini berarti termasuk orang-orang yang diduga meninggal karena virus corona, tanpa adanya hasil tes positif yang terkonfirmasi, sedangkan Italia hanya menghitung kematian yang ada di rumah sakit.

        Spanyol baru-baru ini mulai menghitung kematian akibat virus corona di luar rumah sakit di beberapa wilayah.

        Menganalisa data angka kematian

        Mengapa seluruh angka kematian ini relevan? Ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita pelajari dari semua data kematian. Menurut banyak pakar ilmiah, ini adalah satu-satunya informasi yang tidak bias yang dapat dipercaya untuk mengukur dampak nyata pandemi, dan membuat kebijakan untuk meminimalkan dampak tersebut.

        Jumlah orang yang meninggal karena COVID-19 sangat banyak, tetapi COVID-19 masih bukan penyebab utama kematian di banyak negara. Orang lebih enggan pergi ke rumah sakit karena mereka takut tertular, atau tidak mau membebani sistem kesehatan lebih lanjut.

        Namun, sebuah skenario di mana penyebab utama kematian, seperti penyakit jantung atau kanker, meningkat 5 persen berarti ada jumlah ratusan ribu orang di situ.

        David Spiegelhalter, Profesor Pemahaman Publik tentang Risiko dari University of Cambridge, mencatat perbedaan di masing-masing negara: "Saya dapat mengatakan semua angka kematian adalah ukuran yang benar-benar tidak bias dari dampak epidemi ini. Dan hal inilah yang saya amati jauh lebih dekat," katanya kepada DW.

        DW pun mengumpulkan data semua penyebab kematian dan data kematian yang disebabkan COVID-19, menunjukkan bahwa ribuan orang lebih banyak meninggal secara langsung atau tidak langsung karena COVID-19 dibandingkan yang ditunjukkan laporan resmi.

        Analisis yang DW lakukan berfokus pada Spanyol, Inggris, dan Wales, tetapi menunjukkan adanya pola serupa di negara lain.

        Sebelum kita menyelami lebih dalam mengapa ada banyak kematian berlebih, dan apa yang dapat kita pelajari darinya, mari kita lihat beberapa contoh lebih dekat.

        COVID-19 memperparah kondisi sebelumnya, mengakibatkan kematian dini

        Jika tingkat kematian secara keseluruhan dalam kerangka waktu dan tempat tertentu meningkat tetapi tingkat kematian COVID-19 tidak, mengapa ada lebih banyak orang meninggal? Amparo Larrauri, peneliti di Pusat Kesehatan Masyarakat dan Epidemiologi Spanyol, mengatakan kepada DW bahwa ada beberapa alasan yang memungkinkan.

        "Meningkatnya (angka) kematian mungkin sebagian disebabkan COVID-19 yang belum diidentifikasi," katanya, sambil menunjukkan faktor-faktor lain yang memungkinan seperti "kematian dini."

        Kematian dini mempengaruhi orang-orang dengan harapan hidup yang singkat dan penyakit bawaan yang mendasarinya, terutama golongan orang tua. Jika seseorang dalam kategori ini terinfeksi COVID-19, ia kemungkinan besar akan mengalami gangguan kesehatan.

        Dengan demikian, ini adalah kematian yang terjadi lebih awal dari yang diperkirakan, yang penyebabnya adalah penyakit penyerta yang mendasarinya - tetapi virus mempercepat kematian.

        Itulah sebabnya beberapa ahli demografi mengharapkan angka kematian yang jauh lebih rendah di pasca pandemi COVID-19, karena banyak orang saat ini meninggal lebih awal dari yang diperkirakan.

        Menurut Spiegelhalter, alasan "kematian dini" tidak cukup untuk menjelaskan bertambahnya angka kematian. Menurutnya ada alasan penting lainnya.

        Di Inggris dan Wales, antara rentang 20 Maret hingga 24 April tahun ini, lebih banyak 38.550 orang meninggal dibandingkan angka rata-rata kematian selama 10 tahun terakhir di sana. Hampir 11.000 diantaranya tidak dicap sebagai kasus COVID-19.

        Lebih banyak orang meninggal di luar rumah sakit

        Badan Statistik Nasional Inggris menerbitkan data jumlah kematian di sana setiap minggu. Data ini bermanfaat untuk memeriksa keseluruhan gambaran dampak pandemi.

        "Saya pikir hal krusial yang kita lihat di sini adalah bahwa ada perpindahan (jumlah) dari orang yang meninggal di rumah sakit ke orang yang meninggal di rumah dan rumah perawatan," kata Spiegelhalter.

        Sebagai contoh, data terbaru yang dipublikasikan menunjukkan bahwa dari 18 hingga 24 April, ada peningkatan 373 persen jumlah orang yang meninggal di rumah perawatan selama 5 tahun terakhir. Hanya 35 persen dari mereka meninggal karena COVID-19.

        "Beberapa dari mereka mungkin menderita COVID-19, tetapi yang lain hanya orang-orang yang tidak pergi ke rumah sakit," jelas Spiegelhalter.

        Data juga menunjukkan bahwa 36 persen orang meninggal di rumah perawatan dalam rentang waktu tersebut, meningkat dibandingkan dengan rata-rata historis di rentang waktu yang sama, 22 persen. Sementara, angka kematian di rumah sakit menurun dari 50 persen menjadi 37 persen.

        "Data menunjukkan bahwa orang sangat khawatir pergi ke rumah sakit, baik untuk menghindari kejenuhan atau kemungkinan penularan," tambah Spiegelhalter.

        Menurutnya hal ini lebih mengkhawatirkan daripada kematian COVID-19 yang tidak tercatat.

        "Inilah yang kita sebut 'kerusakan tambahan' yang disebabkan oleh gangguan di masyarakat, dan sistem perawatan kesehatan. Menandakan orang tidak menggunakan layanan kesehatan dengan cara yang seharusnya untuk dapat mencegah kematian mereka."

        "Angka menunjukkan bahwa ada banyak orang yang belum meninggal, dan yang sekarat di rumah atau di rumah perawatan. Dan ini tercermin dari menurunnya jumlah penerimaan pasien rumah sakit dari penyebab non-COVID-19."

        Tingkat kematian di awal kasus sangat bervariasi antar negara, misalnya dari 16,42 persen di Belgia ke 0,09 persen di Singapura.

        Ada beberapa alasan untuk ini, yaitu tidak melakukan tes post-mortem, menghitung angka kematian COVID-19 hanya dari rumah sakit, perbedaan kapasitas pengujian, keakuratan data, dan kurangnya standarisasi dalam mendeskripsi serta perbedaan SOP di setiap negara.

        Kemudian ada negara-negara yang kurang transparan dimana pemerintahnya mengejar agenda politik untuk menggambarkan situasi yang lebih baik dibandinkan dengan kenyataannya demi mendapatkan pengaruh politik.

        Bagaimana dengan Jerman?

        Banyak otoritas kesehatan di banyak negara yang tidak mempublikasikan semua data peyebab kematian ini, atau menunda mempublikasikan dalam waktu tertentu, antara lain Jerman. Ada alasan berbeda untuk masing-masing negara.

        DW pun bertanya kepada lembaga statistik dan layanan IT di negara bagian Jerman, Rhine-Westphalia Utara, yang merupakan zona awal infeksi virus corona dan masih menjadi salah satu negara bagian dengan jumlah kasus positif terbanyak.

        Sebelumnya para pejabat setempat mengatakan tidak membutuhkan pengumpulan data setiap hari, namun kini mereka berusaha keras mengumpulkan data tersebut tetapi kesulitan mengejar ketinggalan.

        Berdasarkan laporan media berita Jerman ZEIT, dari akhir Maret hingga awal April 2020, sedikit lebih banyak orang meninggal di Jerman daripada rata-rata selama empat tahun sebelumnya, kecuali di tahun 2018, yang memiliki jumlah yang relatif tinggi karena gelombang influenza.

        Bagaimana dampak krisis ekonomi yang disebabkan COVID-19?

        Menurut sebuah studi bersama dari Sekolah Kesehatan Masyarakat Harvard T.H. Chan, Imperial College London, dan Universitas Oxford, krisis ekonomi 2008-2010, dan meningkatnya pengangguran yang menyertainya, dikaitkan dengan lebih dari 260.000 kematian terkait kanker di negara-negara berpenghasilan tinggi.

        Kini, banyak negara di seluruh dunia berjuang dengan implikasi ekonomi yang disebabkan pandemi, bersama dengan meningkatnya pengangguran. Diprediksi bahwa tekanan pandemi kemungkinan akan memicu peningkatan konsumsi alkohol, merokok, penggunaan narkoba, serta meningkatnya tingkat bunuh diri.

        Apakah melonjaknya jumlah kematian saat ini sudah memberikan petunjuk?

        Studi yang sama menemukan bahwa meningkatnya kematian yang disebabkan kanker lebih sedikit terjadi di negara-negara yang memiliki sistem perawatan kesehatan secara menyeluruh.

        Jadi, di negara-negara di mana orang tidak dapat atau tidak pergi ke rumah sakit karena kurangnya akses secara merata ke sistem kesehatan, maka lebih banyak orang dengan penyakit yang sebenarnya dapat diobati meninggal.

        Ini memunculkan tantangan besar bagi banyak negara yang tidak memiliki sistem perawatan kesehatan menyeluruh.

        Informasi yang dapat dipercaya tentang berapa banyak kematian berlebih yang disebabkan atau tidak disebabkan oleh COVID-19 mungkin tidak tersedia dalam waktu yang lama. Namun, angka kematian ini sudah menunjukkan bahwa jumlah korban jiwa dari pandemi akan jauh lebih tinggi di seluruh dunia daripada yang dilaporkan saat ini.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: