Budayawan Nahdlatul Ulama (NU), Ngatawi Al-Zastrouw, menyatakan bahwa polemik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang berbuntut pembakaran bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dinilai bentuk rendahnya pendidikan politik, solidaritas, dan etika antarpartai politik di Parlemen.
Bahkan, Ngatawi melihat yang tampak justru politicking atau suka mempolitisasi demi kepentingan sendiri. Ngatawi mengaku heran, di balik polemik pembakaran bendera kemudian hilangnya solidaritas antarpartai sehingga yang tampak adalah politik transaksional.
Baca Juga: Tegaskan Pemerintah Tolak RUU HIP, Mahfud MD: Kok Masih Demo?
"Jangankan memberikan pembelaan terhadap sesama partai yang simbolnya dinista oleh demonstran, bahkan sekadar ucapan simpati dan bela rasa tidak muncul dari partai-partai lain," kata Ngatawi, Senin (6/7/2020).
Ngatawi menuturkan, intitusionalisasi parpol saat ini sebenarnya sedang dipengaruhi oleh berbagai pihak yang ingin mengarahkan demokrasi kepada sifat individualistis. Akibatnya, jika salah satu parpol diserang, sama halnya membiarkan serangan itu dirasakan sendiri partai yang sesungguhnya pilar demokrasi.
Lebih jauh Ngatawi mengatakan, bukan tak mungkin ke depan, preseden pelecehan terhadap sistem politik kenegaraan ini bisa saja terulang. Jika saat ini para demonstran bisa membakar bendera PDIP, lain kali akan terjadi pembakaran terhadap bendera partai lain karena dianggap dekat dengan organisasi terlarang.
"Misalnya, bisa saja akan terjadi pembakaran terhadap bendera PKS karena dianggap dekat dengan HTI sebagai organisasi ilegal dan dianggap merongrong Pancasila," kata Ngatawi.
Bahkan yang lebih parah, menurut Ngatawi, justru ada partai politik yang berusaha menangguk keuntungan dari peristiwa polemik RUU HIP dan pembakaran bendera PDIP.
Dosen Pascasarjana Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu sudah mengecek bahwa sebenarnya seluruh fraksi di DPR menjadi inisiator RUU HIP. Sebab, pengesahannya di rapat paripurna DPR.
Fraksi Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, PPP, dan PDIP menerimanya, begitu pun dengan PKS. Hanya Fraksi PD yang tak jelas pendapatnya. Nah, RUU HIP merupakan manifestasi dari hak inisiatif DPR, seharusnya seluruh fraksi dan anggota DPR bertanggung jawab memperjuangkannya.
Seharusnya, lanjut dia, kalau ada penolakan dari masyarakat, mestinya seluruh fraksi dan anggota DPR harus bersatu-padu menjelaskan dan mempertahankan RUU HIP. Namun ternyata, alih-alih mempertahankan, beberapa fraksi justru balik badan ikut menolak RUU yang telah mereka buat dan usulkan.
"Secara moral tindakan ini sulit dipertanggungjawabkan. Karena perilaku tersebut mencerminkan inkonsistensi partai politik, bahkan cenderung politicking," ucapnya.
"Demi menarik perhatian dan simpati publik, partai-partai politik seperti cuci tangan terhadap RUU yang telah mereka usulkan. Seolah-olah mereka tidak ikut membuat dan menyetujui RUU tersebut, kemudian tampil di depan publik sebagai pahlawan dengan ikut-ikutan mencerca RUU yang sudah mereka buat dan sepakati," tuturnya.
"Tak hanya balik badan mereka seolah menuding bahwa RUU HIP hanya milik PDIP, produk PDIP bukan usulan lembaga DPR, padahal mereka jelas-jelas ikut membahas, memberi catatan dan mengesahkan dalam sidang parpurna," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum