Berubahnya sikap sejumlah pendukung Presiden Jokowi, dari lovers menjadi haters, ditanggapi santai pihak Istana. Lingkaran RI 1 menyatakan tidak marah. Malah senang.
Baca Juga: Menaker: Kami Masih Butuh Ribuan TKA China, Buat Apa?
Belakangan ini, banyak pendukung Jokowi di Pilpres 2019 berubah menjadi pengkritik. Mereka antara lain pengamat politik Abdillah Toha, cendikiawan muda NU Akhmad Sahal, komedian Ernest Prakasa, dan mantan aktivis 98 Savic Ali.
Kritikan para pendukung Jokowi yang juga jadi seleb medsos itu, pedas-pedas, dan bikin kuping panas. Namun, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian, memastikan, Jokowi tak masalah dengan berubahnya sikap para pendukung itu. Sebab, Jokowi bukan sosok antikritik. Baginya, kritikan dari para pendukung itu justru wujud perhatian ke Jokowi.
Baca Juga: Gegara Gibran, Pendukung Jokowi Satu per Satu Balik Badan
"(Kritikan) itu tidak ditanggapi secara reaktif, tetapi secara apresiatif," kata Donny, ketika berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin.
Kritikan yang dipandang penting, lanjut Donny, biasanya ditindaklanjuti secara serius oleh Jokowi. Baik dari pendukung maupun di luar pendukung Jokowi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan yang melontarkan kritik akan diundang ke Istana.
Baca Juga: Sorot Penyerapan Anggaran Covid-19, Jokowi Marah-marah Lagi?
"Untuk memaparkan secara lebih detail," terangnya.
Tentu, tidak semua pengkritik akan diundang ke Istana. Sebagai gantinya, pemerintah biasanya akan memberikan penjelasan secara terbuka. Atau, kritikan itu akan ditempatkan sebagai bahan masukan.
"Artinya gini, semua kritik itu akan diapresiasi, kemudian dipilah," lanjutnya.
Donny kemudian mencoba menjawab satu-persatu kritikan yang dilontarkan pendukung Jokowi. Misalnya, atas kritikan Ernest dan Akhmad Sahal soal restu Jokowi terhadap pencalonan Gibran Rakabuming Raka di Pilkada Kota Solo.
Menurut Donny, di satu sisi Gibran memang anak Presiden. Tapi, di lain sisi, Gibran merupakan warga negara yang memiliki hak dipilih dalam suatu kontestasi politik.
"Harus dilihat dalam posisi seperti itu. (Gibran) bukan kemudian ditunjuk (jadi Wali Kota Solo) secara otomatis. Ini melalui proses demokratis," kata Donny.
"Biar rakyat yang menentukan lewat proses demokrasi," lanjutnya.
Dia memastikan, restu Jokowi ke Gibran bukan bagian dari politik dinasti. "Kalau dinasti kan turun-temurun. Jadi, pasti jatuh ke yang bersangkutan. Ini kan tidak pasti," terang dia.
Lagi pula, sebut Donny, rakyat sudah kritis. Mereka tidak lagi memilih seseorang karena latar belakang keluarga ataupun orang tua calon. Buktinya, banyak calon kepala daerah dari keluarga petahana gagal di Pilkada.
"Banyak juga di berbagai daerah istri kepala daerah tidak jadi sebagai kepala daerah," tuturnya.
Mengenai kritikan Abdillah Toha soal produk regulasi kontroversial, seperti Perppu Corona, RUU Minerba, Omnibus Law, dan lainnya, Donny juga merespons dengan tenang.
Baca Juga: Jokowi Sumbang Sapi Seharga Rp85 Juta untuk Warga Aceh
"Pemerintah kan tidak bisa menyenangkan semua pihak, pasti ada yang tidak puas," ujarnya, santai.
Yang terpenting, lanjutnya, semua prosedur dalam membuat regulasi sudah ditempuh pemerintah. Mulai dari pembahasan dengan DPR hingga menjaring masukan dan pendapat dari berbagai stakeholder.
Jika ada pihak tak puas, Donny menyarankan menggunakan jalur-jalur yang bisa ditempuh. Antara lain judicial review. Bisa di Mahkamah Agung, untuk regulasi di bawah Undang-Undang. Bisa juga di Mahkamah Konstitusi untuk produk perundang-undangan.
"Bahkan, kebijakan bisa digugat ke PTUN. Semua bisa dipersoalkan. Jadi, silakan saja bilamana dirasakan produk perundang-undangan yang kurang berkenan bisa di-judicial review," saran dia.
Mengenai kritikan Savic Ali yang ikut mengomentari Program Organisasi Penggerak Kemendikbud yang memberikan hibah kepada lembaga konglomerat, Donny menyatakan, hal itu kurang cermat.
"Perlu disimak secara lebih cermat kebijakan ini. Jangan terlalu reaktif direspons," pesannya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Lestari Ningsih