Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kalau Saja Tarif Produk Farmasi Dihapus, Pasien Hemat Rp3,7 Juta

        Kalau Saja Tarif Produk Farmasi Dihapus, Pasien Hemat Rp3,7 Juta Kredit Foto: Unsplash/Ibrahim Boran
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mendesak pemerintah menghapus pengenaan tarif produk farmasi guna menjaga kelangsungan pasokan obat selama dan sesudah pandemi Covid-19.

        Associate Researcher CIPS Andree Surianta mengutip laporan Geneva Network berjudul Abolishing pharmaceutical and vaccine tariffs to promote access, mengatakan bahwa bea masuk dalam bentuk tarif untuk produk farmasi berkontribusi besar pada kenaikan harga obat.

        Melalui siaran persnya (13/8/2020), dia sampaikan, "tarif terhadap obat-obatan pada dasarnya seperti pajak regresif karena lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah daripada yang berpenghasilan tinggi."

        Baca Juga: Vaksin Made In China Belum Berabel Halal, Ridwan Kamil Buka Suara

        Baca Juga: Tangan Kanan Baru Erick Pede Kesehatan & Ekonomi RI Bangkit Lagi

        Indonesia sebenarnya sudah mengurangi tarif untuk produk farmasi dalam beberapa tahun terakhir, tetapi masih menerapkan tarif rata-rata obat sebesar 3,8%, dan 3,3% untuk vaksin. Selain itu, Indonesia malah memperluas kategori obat-obatan yang dikenakan tarif, dari 14 kategori pada 2001 menjadi 66 kategori dua tahun lalu.

        "Kemungkinan ini untuk menutupi kekurangan pemasukan negara dari penurunan besaran tarif. Mengingat rantai nilai manufaktur farmasi semakin mengglobal, tarif-tarif yang kelihatannya rendah akan berdampak kumulatif pada harga akhir produk jadi yang akhirnya dibayar oleh pasien," jelasnya.

        Analisis tersebut diperkuat oleh studi yang terbit tahun 2017 oleh European Centre for International Political Economy bahwa penghapusan tarif obat-obatan akan menghemat pengeluaran total pasien di Indonesia hingga mencapai US$252 (sekitar Rp3,7 juta).

        Andree menerangkan, dengan kapasitas produksi vaksin sebesar 300 juta dosis per tahun dan kebutuhan dua dosis vaksin corona per orang, maka jika seluruh kapasitas digunakan hanya untuk produksi vaksin, mungkin akan perlu waktu dua tahun untuk memproduksi dan mendistribusikannya ke setiap penduduk Indonesia.

        Padahal, lanjutnya, vaksin lain jelas masih tetap dibutuhkan sehingga akan terjadi dilema mana yang didahulukan. Negara lain yang populasinya lebih sedikit, vaksinasinya bisa saja selesai lebih cepat dan malah mungkin memiliki persediaan ekstra.

        Di sinilah, kata Andree, pentingnya penghapusan tarif untuk menjadikan impor vaksin sebagai strategi pelengkap demi mempercepat penanganan Covid-19 tanpa mengorbankan penanganan penyakit lainnya.

        "Di luar obat-obatan pun, kita masih mengenakan tarif yang cukup tinggi untuk APD dan alat medis," bebernya.

        Data Geneva Network sekali lagi menunjukkan tarif APD sebesar 10,5% dan alat medis 5,5%. Tingginya tarif masuk seperti ini akan sangat memengaruhi harga jualnya. Kenaikan harga jual tentu memengaruhi keterjangkauan produk tersebut di pasaran.

        Dia jelaskan, "kalau hambatan seperti ini tidak segera diatasi, mereka yang sakit malah dipaksa membayar lebih mahal."

        "Pemerintah idealnya melihat penghapusan tarif sebagai instrumen untuk melancarkan perdagangan dan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan pasokan barang medis untuk menahan laju penyebaran Covid-19 sekarang maupun nanti setelah pandemi berlalu," sambung Andree.

        Indonesia sebenarnya juga telah menghapuskan tarif impor untuk obat-obatan terkait Covid-19 untuk sementara waktu. Pemerintah di beberapa negara, seperti Pakistan, Brazil, Kolombia, dan Norwegia, telah menunjukkan keberpihakannya dengan membebaskan sementara obat-obatan, vaksin, dan pasokan alat medis terkait Covid-19 dari bea masuk dan pajak.

        Sementara negara-negara yang tergabung dalam Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) saat ini sedang membahas rencana penghapusan setidaknya satu tahun pajak dan tarif atas produk medis terkait Covid-19.

        "Kendati kebijakan tersebut merupakan langkah positif, sayangnya hanya bersifat sementara. Ini berpotensi menciptakan ketidakpastian bagi eksportir terkait arahan jangka panjang suatu pasar. Jadi, kondisi ini malah mengurangi kesiapan produsen dalam menghadapi pandemi lain di masa mendatang," paparnya.

        Covid-19 kemungkinan besar bukanlah pandemi terakhir yang akan kita hadapi, pemerintah disarankan untuk mempertimbangkan penghapusan tarif pada obat-obatan, vaksin, dan pasokan medis secara permanen.

        Salah satunya dengan segera mendukung Perjanjian Farmasi yang dicetuskan WTO (dikenal juga sebagai Zero for Zero) bersama-sama dengan 34 negara lainnya yang telah sepakat untuk menghapuskan tarif obat-obatan untuk semua anggota WTO.

        Indonesia termasuk ke dalam deretan negara yang saat ini tercatat belum tergabung dalam komitmen ini bersama dengan India, Brazil, Afrika Selatan, Rusia, dan China. Tidak bergabung menjadi anggota Perjanjian Farmasi WTO mengindikasikan pemerintah dapat sewaktu-waktu menaikkan tarif obat-obatan di masa mendatang, yang akhirnya kembali membebani pasien.

        "Bergabung dengan perjanjian ini berarti pasien dapat memeroleh obat-obatan bebas bea untuk seterusnya. Ini bukan hanya kunci untuk mengalahkan pandemi Covid-19, tetapi juga meninggalkan warisan yang positif untuk masa depan generasi yang akan datang," tukasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: