Jelas terbukti bahwa industri perkebunan kelapa sawit mampu memberikan manfaat yang luar biasa bagi perekonomian Indonesia.
Tidak hanya sebagai penghasil devisa negara, kehadiran kelapa sawit juga mampu menjadi jawaban atas pembangunan ekonomi pedesaan, pengurangan kemiskinan, kesempatan kerja, produksi biomaterial dan oleo-pangan, produksi biomassa, konservasi tanah dan air, sumber energi terbarukan (biofuel), serta mampu menyerap emisi gas karbondioksida di udara.
Meskipun demikian, pihak kontra sawit yang menaruh perhatian pada perubahan iklim masih saja memandang industri perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu driver emisi gas rumah kaca (GRK).
Baca Juga: Dearest Sawit, Emas Hijau untuk Ekologi yang Sempat Terhimpit
Asumsi yang melatarbelakangi paradigma ini terkait dengan kegiatan kultur teknis di lapangan dan pabrik kelapa sawit (PKS) yang akan menghasilkan limbah.
Peneliti Rekayasa Teknologi dan Pengelolaan Lingkungan, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, M Ansori Nasution mengatakan bahwa diperlukan penerapan dan pengembangan teknologi untuk mengurangi emisi GRK industri kelapa sawit. Khusus di PKS, pemaksimalan penurunan emisi GRK perlu dilakukan dengan menggabungkan 2–3 teknologi yang saling berhubungan.
Perangkat yang dapat digunakan untuk mengindentifikasi dan menganalisis potensi emisi lingkungan yang disebabkan siklus produksi kelapa sawit mulai dari bahan baku TBS hingga produk akhir, yakni Life Cycle Assesment (LCA). LCA pada kelapa sawit akan berfokus pada limbah cair (Palm Oil Mill Effluent/POME) dan tandan kosong kelapa sawit (Empty Fruit Bunch/EFB).
Berdasarkan hasil penelitian Stichnothe dan Schuchardt di PPKS tahun 2009–2010, emisi yang dihasilkan dari limbah ini menyumbang 77 persen dari emisi industri kelapa sawit. Setiap ton TBS yang diolah akan melepas 7 kg gas methane ke dalam kolam limbah dan 223 kg gas setara CO2 apabila tandan kosong kelapa sawit dibuang begitu saja.
Oleh karena itu, POME dan EFB harus dimanfaatkan dengan kombinasi berbagai teknologi, yaitu composting, biogas dan composting, biogas dan land application, biogas dan membran untuk water plant.
Tidak hanya itu, pemanfaatan teknologi alami juga akan menstimulus pengurangan emisi GRK di Bumi. Misalnya saja, pengendalian hama dan penyakit tanaman kelapa sawit dari yang biasanya bersifat kimiawi berubah ke penggunaan predator alami. Kondisi ini akan mampu mengurangi emisi sebesar 0,5 persen per kg CPO.
Pemanfaatan pelepah untuk pakan ternak dan batang kelapa sawit untuk furnitur akan mengurangi emisi sebesar 20–22 persen dibandingkan business as usual. Di pabrik, kegiatan menurunkan loses dari tinggi menjadi rendah akan mengurangi emisi sebesar 0,44 persen. Penggunaan teknologi methane capture dapat mengurangi emisi 8,7 persen.
Pemanfaatan TKKS baik untuk pupuk maupun energi dapat mengurangi emisi 18,7 persen serta memanfaatkan cangkang sawit sebagai sumber energi dapat mengurangi emisi sejumlah 0,22 kg setara CO2 per kg CPO.
Hasil riset LCA ini berguna untuk membantu pemerintah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengembangan teknologi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: