Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Digital Duopoli: AS dan Tiongkok Kuasai Ekonomi Digital Global

        Digital Duopoli: AS dan Tiongkok Kuasai Ekonomi Digital Global Kredit Foto: REUTERS/Jason Lee
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Perkembangan teknologi kian memudahkan masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-hari, terlebih setelah terjadinya pandemi sejak triwulan pertama tahun ini. Hal tersebut kemudian menciptakan peluang yang menjanjikan bagi ekonomi digital, membuat setiap negara berlomba-lomba untuk membangun ekosistem ekonomi digital yang mumpuni.

        Terkait industri digital saat ini, yang terjadi bukanlah persaingan antara - negara maju dan negara-negara berkembang, tetapi justru hanya terkonsentrasi di dua negara – yakni satu negara maju dan satu negara berkembang, yaitu AS dan Tiongkok.

        Berdasarkan Digital Economy Report 2019 oleh UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development), AS dan Tiongkok menguasai sekitar 90% nilai pasar dari 70 platform digital terbesar di dunia dan memiliki sekitar 75% dari semua paten terkait dengan teknologi blockchain.

        Selain itu, mereka juga bertanggung jawab atas sekitar 50% pengeluaran global untuk Internet of Things (IoT) dan mendominasi 75% pasar komputasi awan. Lalu, apa yang bisa dilakukan negara lain untuk meruntuhkan pertahanan duopoli digital yang kian berkuasa ini?

        Head of Telecom, Media & Technology Research, DBS Bank Singapore, Sachin Mittal memberikan pandangannya terkait kondisi digital global saat ini serta upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan efisiensi pasar bagi pemain lainnya.

        Berikut adalah rangkuman terkait pandangan terhadap kondisi persaingan digital global saat ini:

        1. Alasan mengapa si kaya makin kaya

        Persaingan digital didominasi oleh pemain dengan akses ke data konsumen atau big data, yang menghalangi pemain lokal yang lebih kecil untuk berkembang. “Tidak seperti raksasa digital, pesaing yang kecil dan pemain lama tradisional tidak memiliki akses ke data pelanggan,” kata Sachin. 

        Sebagai ilustrasi, perusahaan mesin pencarian (search engine) disinyalir lebih mengutamakan layanannya sendiri ketimbang layanan pesaingnya, atau beberapa pemain perdagangan elektronik yang menggunakan algoritma data mereka untuk mengutamakan barang mereka sendiri ketimbang produk penjual pihak ketiga. Saat ini, perusahaan teknologi besar sedang disoroti untuk memastikan apakah mereka secara tidak fair menggunakan aplikasi toko mereka untuk merugikan pesaing.

        Tak berhenti sampai di situ, perusahaan teknologi besar seringkali melakukan akuisisi terhadap pesaing lebih kecil. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari potensi ancaman dari pesaing baru, bahkan jika memungkinkan, dilaksanakan sedini mungkin.

        Salah satunya adalah Facebook yang mengakuisisi saingannya, Instagram, pada 2012, diikuti oleh WhatsApp pada 2014. Akibatnya, akuisisi para startup lokal sejak dini yang banyak dilakukan oleh pemain besar menghalangi terciptanya efisiensi pasar.

        2. Kiat bagi pemain lain untuk mengejar ketertinggalan

        Sebagaimana atlet menyusun strategi untuk menang dalam pertandingan, pengaturan platform digital juga seyogyanya mendapat perlakuan yang sama, di mana perlu adanya evaluasi kekuatan dan kelemahan masing-masing negara sebelum akhirnya menetapkan aturan.

        Beda negara, tentu berbeda pula masalah serta aturan yang dapat menyelesaikannya. Untuk mengatasi masalah seputar inefisiensi dalam hal akses ke data, Sachin menyarankan pendekatan yang fokus pada tiga hal yaitu privasi data, lokalisasi data, dan/atau data universal.

        “Pertama adalah privasi data. Pada Mei 2018, Uni Eropa (UE) memperkenalkan Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) untuk menyelaraskan undang-undang privasi data seluruh anggotanya. Hingga saat ini, sekitar 120 negara telah memberlakukan undang-undang perlindungan data dan sekitar 40 negara serta yurisdiksi belum merampungkan RUU mereka,” jelas Sachin.

        Meskipun melindungi privasi data, Sachin melihat peraturan tegas dan pukul rata tanpa pandang bulu tak jarang memperburuk efisiensi pasar, merugikan perusahaan lebih kecil tetapi secara tidak langsung menguntungkan raksasa digital. Sebagai bagian integral dalam bisnis, penghentian praktik pengumpulan data memberikan tekanan pada pemain lebih kecil yang khawatir dianggap tidak taat pada peraturan.

        Selain privasi data, Sachin juga menyatakan lokalisasi data juga perlu diperhatikan. “Setiap negara perlu melakukan lokalisasi data. Beberapa negara, seperti Vietnam, berusaha untuk mengatasi ketidakefisienan melalui persyaratan lokalisasi data dan mewajibkan perusahaan platform digital untuk beroperasi dengan membuka kantor lokal di negara tersebut. Tidak hanya mendorong pembangunan beberapa pusat data, kebijakan tersebut juga menciptakan lapangan pekerjaan, menguntungkan perekonomian, serta memudahkan pemungutan pajak.”

        Di samping itu, Sachin menambahkan bahwa akses data universal menjadi elemen yang penting, terutama dalam mewujudkan kondisi seimbang bagi pemain lebih kecil. Namun, untuk mendorong data sharing dan pemberian akses, maka privasi dan risiko keamanan perlu menjadi prioritas utama.

        Hal tersebut sedang dicanangkan di India yang sedang melangsungkan wacana terkait kewajiban perusahaan digital untuk menjual data publik atau bersifat non-pribadi kepada siapa pun yang membutuhkan akses ke database di negara tersebut. Serupa dengan pemerintah yang menguasai tanah untuk membangun jalan raya, mereka mengharapkan pemilik data bertindak demi kepentingan nasional.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Fajar Sulaiman

        Bagikan Artikel: