Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kelapa Sawit: Nikmat Apa Lagi yang Kau Dustakan?

        Kelapa Sawit: Nikmat Apa Lagi yang Kau Dustakan? Kredit Foto: Antara/FB Anggoro
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Popularitas kelapa sawit sebagai komoditas strategis nasional sepertinya belum cukup membungkam hujatan, makian, isu, dan fitnah dari sejumlah stakeholders antisawit lokal dan global. Komoditas dengan julukan incredible tree ini masih saja diserang dan dituding sebagai komoditas bernilai minus.

        Ibarat peribahasa bau busuk tak berbangkainegative issues terhadap kelapa sawit tersebut satu per satu berganti menjadi boomerang yang kembali kepada tuannya. Makin diserang, industri perkebunan kelapa sawit Indonesia justru makin show off dengan menyajikan fakta dan data empiris yang bersifat continue dan extensible.

        Baca Juga: Cangkang Sawit: Bukti Pelabuhan Aceh Potensial

        Demikian dikatakan Muhamad Ihsan, CEO dan Chief Editor Warta Ekonomi, yang juga kerap melakukan kampanye positif sawit, baik di Jakarta, daerah, maupun luar negeri. Menurut Ihsan,  setiap warga negara Indonesia (WNI) wajib membela sawit karena nilai-nilai strategisnya.

        "Sebab, sawit memberi manfaat bagi sekitar 17 juta sampai 25 juta masyarakat Indonesia yang bekerja di industri ini, baik langsung maupun tak langsung. Belum lagi dari berbagai multiplier effect yang ditimbulkannya,' ujar Ihsan yang juga menjabat sebagai Bendahara PWI Pusat.

        Dari sisi ekonomi, pada 2019 misalnya, Indonesia membukukan defisit neraca perdagangan US$3,2 miliar. Namun, ekspor minyak sawit dan turunannya justru menyumbangkan pendapatan positif US$20 miliar. Hal ini sudah berjalan selama bertahun-tahun. Pada tahun 2015, sawit menyumbangkan US$15,3 miliar, lalu tahun 2016 sebesar US$17 miliar, 2017 sebesar US$22,9 miliar, 2018 US$22,3 miliar, dan tahun 2019 mencapai US$22,4 miliar.

        Maka, rasanya tidak berlebihan kalau minyak sawit dinobatkan sebagai industri strategis. Belum lagi kalau dilihat dari sisi tenaga kerjanya. Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) mencatat bahwa sawit tempat bergantung 17,5 juta orang karyawan perusahaan dan petani. Sementara, BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) mencatat, ada 4,2 juta tenaga langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung di industri sawit, serta melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 4,6 juta pekerja.

        Daftar ini akan bertambah panjang kalau kita juga menghitung multiplier effect-nya. Misalnya saja, dampak terhadap industri makanan di sekitar perkebunan dan pabrik, hotel, industri keuangan, dan lain-lain. Belum lagi kalau kita melihat kota-kota yang tumbuh sebagai akibat logis dari pembangunan ekosistem perkelapasawitan.

        "Ibarat penemuan minyak fosil di masa lalu, kota-kota di sekitarnya akan ikut tumbuh dan berkembang," tegas Ihsan.

        Dalam konteks ini, lanjut Ihsan, tampaknya kita harus menjaga seluruh ekosistem sawit. Salah satunya adalah menjaga stabilitas harga agar petani (41% pemilik lahan sawit Indonesia) dan perusahaan bisa menjaga keberlangsungan industri ini. Jujur harus diakui, Presiden Jokowi cukup cerdik ketika memutuskan untuk mengimplementasikan penggunaan sawit dalam BBN (bahan bakar nabati). Kini, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling agresif mengimplementasikan BBN, saat ini Indonesia sudah mencapai B-30. Saingan terdekat, Malaysia baru mencapai B-10.

        Menurut catatan Aprobi (Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia), penerapan biofuel berjalan baik di Indonesia. Sepanjang 2019 saja biodiesel yang digunakan mampu mencapai 6,7 juta kilo liter. Dalam kalkulator Aprobi, ini senilai dengan penghematan pengeluaran negara US$3,8 miliar (sekitar Rp55,5 triliun) karena negara tidak perlu mengimpor solar berbasis fosil.

        Bahkan, biodiesel juga sudah berkiprah sebagai salah satu komoditas ekspor yang terus meningkat. Masih dari catatan Aprobi, sepanjang Januari-November 2019 lalu, ekspor biodiesel Indonesia telah mencapai 1,4 juta kilo liter (kl) dengan tujuan China, Hong Kong, dan Uni Eropa. Hebatnya lagi, ini merupakan kenaikan signifikan dibandingkan tahun 2018 yang hanya mencapai 1,7 juta kl.

        Nah, di titik ini, Ihsan mengingatkan pentingnya berpikir secara terintegrasi. Artinya, lanjut Ihsan, akibat dari kebijakan biofuel ini, seluruh stakeholder diuntungkan. "Karena daya serap pasar sawit meningkat, over stock produk sawit terkendali. Dengan demikian, harga jual bagi produsen dan petani akan terjaga," tandasnya.

        Maka, lanjut Ihsan, "Nikmat apa lagi yang kau dustakan?"

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: