Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Laba HM Sampoerna hingga Gudang Garam Terbakar, Siapa Emiten Rokok Paling Ambyar?

        Laba HM Sampoerna hingga Gudang Garam Terbakar, Siapa Emiten Rokok Paling Ambyar? Kredit Foto: Unsplash/Rae Tian
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Industri rokok tak luput dari tekanan sepanjang semester pertama tahun 2020. Mulai dari kebijakan cukai hingga adanya pandemi Covid-19, itulah yang menekan kinerja keuangan mayoritas emiten rokok hingga mengalami penurunan tajam. Bahkan, kinerja sekelas HM Sampoerna dan Gudang Garam pun turut ambyar pada paruh pertama tahun ini.

        Meski begitu, adapula emiten rokok yang selamat dan justru membukukan kinerja positif pada periode tersebut. Siapakah itu dan bagaimana kinerja keuangan dari masing-masing emiten rokok yang terdaftar di bursa? Simak ulasan berikut ini.

        Baca Juga: Kisah Kelam Skandal Gagal Bayar Kresna Life: Nasabah Gigit Jari, Haknya Tak Dipenuhi

        1. Bentoel International (-56,53%)

        PT Bentoel International Tbk (RMBA) harus menelan pil pahit sepanjang semester pertama tahun 2020. Pasalnya, sampai dengan Juni 2020, RMBA mengantongi rugi bersih sebesar Rp165,44 miliar. Meski begitu, angka tersebut 56,53% lebih rendah daripada kerugian RMBA pada Juni 2019 lalu yang mencapai Rp380,59 miliar.

        Ada sejumlah faktor yang membuat RMBA belum bisa bebas dari jeratan kerugian, salah satunya adalah penjualan yang terkontraksi pada enam bulan pertama tahun ini. Dilansir dari laporan keuangan perusahaan, RMBA membukukan penjualan sebesar Rp7,59 triliun pada semester I-2020. Angka tersebut turun sedalam 25,73% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp10,22 triliun.

        Pada saat yang bersamaan, RMBA mampu menekan beban pokok penjualan sebesar 25,31% dari Rp8,69 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp6,49 triliun pada Juni 2020. Selain itu, Jika dibedah, perbaikan pada beban pokok penjualan terjadi seiring dengan jumlah biaya produksi yang berhasil ditekan pada periode semester I 2020 ini.

        Baca Juga: Bea Cukai Bongkar Modus dan Merek Rokok Ilegal yang Sering Digunakan Pelaku

        Misalnya saja, biaya pita cukai dan PPN turun dari sebelumnya Rp6,28 triliun menjadi Rp4,35 triliun. Kemudian, biaya bahan baku juga turun dari Rp2,09 triliun menjadi Rp1,54 triliun, sedangkan biaya atau beban pabrikasi angkanya turun dari Rp402,83 miliar menjadi Rp397,31 miliar. Namun, untuk biaya tenaga kerja langsung mengalami peningkatan tipis dari Rp35,57 miliar menjadi Rp48,11 miliar.

        Manajemen RMBA mengatakan ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh perusahaan pada tahun 2020 ini. Bukan hanya soal kebijakan cukai rokok, bisnis industri tembakau juga tertekan oleh dampak ekonomi yang muncul akibat pandemi Covid-19.

        "Di tengah tantangan akibat kebijakan tarif cukai tersebut, dunia juga menghadapi tantangan lain akibat munculnya pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020 yang mengakibatkan menurunnya volume penjualan dan daya beli konsumen," ungkap manajemen RMBA sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia.

        Oleh karena itu, pihaknya juga mengklaim bahwa tantangan tersebut berdampak signifikan terhadap penjualan rokok perusahaan. Menurut manajemen RMBA, butuh waktu bagi industri tembakau untuk dapat pulih dari tekanan tersebut, khususnya berkaitan dengan penurunan penjualan produk.

        "Kami juga berharap agar pemerintah dapat lebih memperhatikan keberlangsungan industri tembakau, khususnya di tengah-tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini," sambungnya lagi.

        2. HM Sampoerna (-27,91%)

        Emiten rokok milik Philip Morris International, yakni PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) membukukan penurunan laba bersih sebesar 27,91% dari Rp6,77 triliun pada semester I 2019 menjadi Rp4,88 triliun pada semester I 2020. Hal ini beriringan dengan kontraksi laba kotor sedalam 21,02% dari Rp12,32 triliun pada tahun lalu menjadi hanya Rp9,73 triliun pada tahun ini.

        Amblasnya laba tersebut tidak terlepas dari penjualan rokok HMSP yang tergerus hingga 11,79% dari Rp50,71 triliun menjadi Rp44,73 triliun pada periode tersebut.

        Dilansir dari laporan keuangan perusahaan, penurunan paling dalam terjadi pada pos penjualan ekspor yang mencapai 25,44% dari Rp191,35 miliar pada tahun lalu menjadi Rp142,67 miliar pada tahun ini. 

        Baca Juga: Ada Transaksi Miliaran Rupiah Antara HM Sampoerna & Philip Morris

        Sementara itu, penjualan lokal juga tercatat kurang maksimal di mana penjualan sigaret kretek tergerus 15,04% menjadi hanya Rp30,5 triliun. Begitu pun dengan penjualan sigaret putih yang turun 20,95% menjadi Rp4,3 triliun. Pertumbuhan kinerja tercatat untuk penjualan sigaret kretek tangan, itu pun tipis hanya sebesar 6,85% menjadi Rp9,51 triliun.

        Manajemen HMSP mengatakan, penurunan kinerja tersebut terjadi lantaran terimbas oleh berbagai kebijakan berkenaan dengan pandemi Covid-19. Daya beli masyarakat terhadap produk rokok mengalami penurunan selama pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Alhasil, meski mampu menekan beban pokok penjualan sebesar 8,85% dari Rp38,39 triliun pada tahun lalu menjadi Rp34,99 triliun pada tahun ini, keuntungan perusahaan mengalami penurunan.

        "Pandemi Covid-19 juga telah mengakibatkan terganggunya kegiatan operasional perusahaan, seperti penutupan sementara dua fasilitas produksi linting tangan, adaptasi kegiatan manufaktur, pengadaan barang, periklanan, dan promosi," jelas manajemen HMSP.

        3. Gudang Garam (-10,75%)

        Raksasa emiten rokok PT Gudang Garam Tbk (GGRM) juga turut mengalami penurunan kinerja keuangan pada semester pertama tahun 2020. Hal itu tercermin dari capaian laba bersih Gudang Garam yang tergerus 10,75% dari Rp4,28 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp3,82 triliun pada Juni 2020 ini.

        Bersamaan dengan itu, laba kotor Gudang Garam juga terkikis hingga 13% dari Rp10 triliun pada tahun lalu menjadi Rp8,7 triliun pada tahun ini. Dilansir dari keterbukaan informasi, per Juni 2020 Gudang Garam mengantongi penjualan sebesar Rp53,7 triliun, naik 1,72% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp52,7 triliun. 

        Baca Juga: Saham Gudang Garam Memerah Darah! Gara-Gara....

        Manajemen Gudang Garam mengungkapkan, volume penjualan rokok mengalami penurunan sebesar 8,8% dari 46,6 miliar batang pada Juni 2019 menjadi 42,5 miliar batang pada Juni 2020. Penurunan paling dalam terjadi pada volume penjualan SKM LTN (sigaret kretek mesin rendah tar nikotin), yakni sebesar 45,6% menjadi 2,3 miliar batang.

        Volume penjualan SKM FF (sigaret mesin full flavor) juga mengalami penurunan sebesar 6,6% menjadi 35,8 miliar batang. Sementara itu, volume penjualan SKT (sigaret kretek tangan) bertumbuh 7,5% menjadi 4,5 miliar batang.

        "Pertumbuhan pendapatan penjualan Gudang Garam sebesar 1,7% menjadi Rp53,7 triliun dicapai karena adanya kenaikan harga dan penurunan volume," tulis manajemen Gudang Garam dikutip pada Selasa, 15 September 2020.

        Di sisi lain, Gudang Garam mampu menekan pos beban, seperti beban usaha yang turun 12,22% menjadi Rp3,56 trilun. Namun, sayangnya beban pokok penjualan membengkak dari Rp42,79 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp44,99 triliun pada Juni 2020. Hal itulah yang kemudian 'membakar' capaian laba perusahaan pada paruh pertama tahun ini.

        Berkenaan dengan situasi saat ini, manajemen Gudang Garam mengakui pandemi Covid-19 menjadi tantangan tersendiri bagi bisnis perusahaan. Diakuinya, daya beli masyarakat mengalami penurunan, terutama untuk masyarakat kalangan bawah.

        "Gudang Garam terus bersiaga dan memantau perkembangan situasi ini dengan seksama. Fokus kami adalah memastikan kualitas dan ketersediaan produk di pasar tetap terjaga serta mempertahankan posisi keuangan yang konservatif dan sehat," pungkasnya lagi.

        4. Wismilak (410,06%)

        Ketika tiga emiten rokok lainnya harus menelan pil pahit PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) justru mendulang berkah luar biasa pada semester I 2020. Bagaimana tidak, laba bersih Wismilak meroket signifikan hingga 410,06% dari Rp8,55 miliar pada Juni 2019 menjadi Rp43,61 miliar pada Juni 2020.

        Penopang atas capaian tersebut tidak lain adalah pertumbuhan penjualan yang positif dalam enam bulan pertama tahun ini. Per Juni 2020, Wismilak membukukan penjualan sebesar Rp829,26 miliar, tumbuh 27,71% dari tahun sebelumnya yang hanya Rp649,31 miliar. Selain itu, keuangan Wismilak semakin kinclong karena pendapatan bunga bersih meningkat hingga 72,03% dari Rp4,47 miliar pada tahun lalu menjadi Rp7,69 miliar pada tahun ini. 

        Baca Juga: Wismilak hingga ICBP Ngamuk, IHSG Bertanduk!

        Sekretaris Wismilak, Surjanto Yasaputera, mengatakan bahwa pertumbuhan penjualan produk Wismilak ditopang oleh produk-produk baru yang dimiliki perusahaan, yakni sigaret kretek tangan (SKT) Wismilak Satya dan produk sigaret kretek mesin (SKM) Diplomat Evo pada tahun 2019 lalu. Produk baru tersebut mempunyai harga yang terjangkau sehingga cenderung diminati oleh konsumen.

        "Produk rokok yang kami luncurkan beberapa waktu terakhir ini berada dalam range (harga) yang cukup affordable sehingga bisa menjadi alternatif pengganti buat konsumen yang merasa rokok sebelumnya terlalu mahal harganya," pungkasnya secara virtual pada Senin, 27 Juli 2020 lalu.

        Sebagai catatan, pada paruh pertama tahun 2020, beban pokok penjualan Wismilak mengalami kenaikan sebesar 27,41% menjadi Rp574,48 miliar. Begitu pula dengan beban usaha yang membengkak 8,13% menjadi Rp205,89 miliar. Meski begitu, Wismilak mampu mempertahankan kinerja keuangan yang positif pada semester I ini.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Lestari Ningsih
        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: