Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Tahan Banting Lawan Covid-19, Siapa Jawara Farmasi di Indonesia? Bukan Kimia Farma!

        Tahan Banting Lawan Covid-19, Siapa Jawara Farmasi di Indonesia? Bukan Kimia Farma! Kredit Foto: Unsplash/Kendal James
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Farmasi menjadi sektor yang paling tahan banting selama masa pandemi Covid-19, begitu yang diyakini oleh banyak orang. Ketika sektor lain babak belur, sektor farmasi justru mendulang berkah di tengah krisis kesehatan yang tak hanya melanda Indonesia, tetapi juga dunia. 

        Baca Juga: BUMN Gandeng Perusahaan Asing Buat Lawan Covid-19, Siapa Saja Ya?

        Ditambah dengan adanya sentimen vaksin corona, emiten farmasi ramai-ramai mencetak kinerja keuangan yang positif pada paruh pertama tahun 2020. Mulai dari Kimia Farma, Kalbe Farma, Phapros, hingga Sindo Muncul. Namun, ada pula yang terpaksa menelan pil pahit melawan Covid-19.

        Lantas, siapakah jawara emiten farmasi di Indonesia berdasarkan kinerja keuangan semester I-2020? Simak ulasan berikut ini.

        1. Merck (424,78%)

        Menyandang sebagai perusahaan publik di bidang healthcare, PT Merck Tbk (MERK) mampu mencetak kinerja cemerlang pada semester I-2020. Pasalnya, lonjakan laba bersih Merck secara tahunan mencapai 424,78% dari Rp6,12 miliar pada Juni 2019 menjadi Rp32,12 miliar pada Juni 2020. 

        Padahal, jika dilihat dalam laporan keuangan perusahaan, penjualan Merck pada periode tersebut turun 10,72% dari Rp316,79 miliar pada tahun lalu menjadi hanya Rp282,84 pada tahun ini. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh penjualan dari pihak ketiga yang menurun dari Rp300,85 miliar menjadi Rp245,69 miliar pada periode tersebut. Sementara itu, penjualan pihak berelasi melonjak dari Rp8,99 miliar menjadi Rp12,76 miliar.

        Baca Juga: Menelisik Skandal Subkontraktor Fiktif Waskita Karya: Dari Tersangka hingga Kerugian Negara

        Meskipun begitu, keberhasilan Merck dalam menekan beban pokok penjualan menjadi faktor yang mendongkrak laba bersih perusahaan. Per Juni 2020, beban pokok penjualan tercatat sebesar Rp210,64 miliar, turun 24,84% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp158,31 miliar. Begitu pun dengan beban penjualan yang turun 22,74% menjadi Rp47,52 miliar.

        Direktur Utama Merck, Evie Yulin, mengungkapkan bahwa bisnis biofarma dan bahan baku farmasi menjadi alasan lain di balik lonjakan keuntungan perusahaan. Per Juni 2020, Merck membukukan penjualan produk biofarma kepada PT Anugrah Argon Medica sebesar 71,67% dari total penjualan, sedangkan produk kesehatan konsumen kepada PT Anugerah Pharmindo Lestari porsinya mencapai 8,62%. Hal ini mencerminkan bahwa Merck mampu bersaing dengan kompetitor lainnya di tengah pandemi yang menantang ini.

        "Selain itu, (Merck) juga mampu tetap bersaing dalam industri yang terus bergerak maju," katanya secara virtual pada 29 Juli 2020 lalu.

        2. Pyridam Farma (223%)

        Jawara kedua emiten farmasi periode semester I 2020 diraih oleh PT Pyridam Farma Tbk (PYFA). Di antara emiten lainnya, PYFA membukukan kenaikan laba bersih paling tokcer kedua setelah Merck Indonesia, yakni 223% dari Rp1,76 miliar pada Juni 2019 menjadi Rp5,69 miliar pada Juni 2020. Penjualan produk vitamin diklaim menjadi penopang kinerja perusahaan sehingga kebal terhadap Covid-19.

        Dilansir dari laporan keuangan perusahaan, PYFA mengantongi penjualan 0,17% lebih tinggi dari Rp121,36 miliar pada semester I 2019 menjadi Rp121,57 miliar pada semester I 2020.

        Sekretaris PYFA, Ryan Arvin Sutikno, mengungkapkan bahwa produk vitamin dan suplemen dengan margin tinggi menjadi pupuk yang membuat penjualan perusahaan bertumbuh positif. Beberapa produk vitamin dan suplemen yang dimaksud adalah Zeviton, Damuvit, Imudator, Caltrax, dan Vinerton. Ia optimis, tren positif tersebut akan terus berlanjut sampai periode mendatang.

        "Hal itu mengantar kami dengan kinerja yang positif setelah meraih peningkatan laba bersih hingga 223%, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Realisasi ini di atas ekspetasi," pungkasnya secara tertulis, dikutip pada Rabu, 16 September 2020.

        Meski pertumbuhan penjualan tak signifikan, laba PYFA terdongkrak oleh keberhasilan perusahaan dalam menekan pos beban. Yang paling signifikan, PYFA menggerus beban pokok penjualan hingga 14,54% dari Rp51,99 miliar pada tahun lalu menjadi Rp44,43 miliar pada tahun ini.

        Untuk ke depannya, PYFA berkomitmen dapat turut mengatasi permasalahan kesehatan yang saat ini tengah melanda masyarakat Indonesia. Guna merealisasikan komitmen tersebut, PYFA menyiapkan berbagai insiatif baru serta rencana sehingga kinerja bisnis juga ikut bertumbuh.

        "Kami akan meluncurkan banyak inisiatif baru dan rencana bisnis ke depan. Namun, rencana tersebut belum bisa diumumkan saat ini," sambungnya.

        3. Sido Muncul (10,6%)

        Memiliki Tolak Angin sebagai produk andalannya, PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) mampu mendulang berkah di tengah krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19. Selama semester I 2020, laba bersih Sido Muncul tumbuh positif 10,6% dari Rp374,1 miliar pada tahun 2019 menjadi Rp413,8 miliar pada tahun 2020. 

        Baca Juga: Sido Muncul Optimis Kinerja Bakal Tetap Tumbuh di Tengah Pandemi

        Pertumbuhan laba tersebut ditopang oleh penjualan yang melonjak dalam enam bulan pertama tahun ini. Per Juni 2020, Sido Muncul meraup penjualan sebesar Rp1,45 triliun. Capaian tersebut naik 3,47% dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp1,41 triliun. Kontributor terbesar atas pendapatan penjualan ialah segmen produk jamu herbal dan suplemen yang mencapai Rp923,19 miliar. Meskipun begitu, angka tersebut turun 2,11% dari kontribusinya pada tahun lalu yang sebesar Rp943,1 miliar.

        Lonjakan tinggi justru dicapai oleh segmen makanan dan minuman yang angkanya tumbuh 16,28% dari Rp403,45 miliar pada semester I 2019 menjadi Rp469,16 miliar pada semester I 2020. Penjualan emiten jamu legendaris ini juga ditopang oleh segmen farmasi yang tumbuh 6,03% dari Rp63,52 miliar menjadi Rp67,35 miliar.

        Bukan hanya penjualan yang meningkat, capaian positif laba perusahaan didukung oleh keberhasilan Sido Muncul dalam menekan pos beban. Misalnya, pada paruh pertama tahun ini beban penjualan dan pemasaran berhasil ditekan 0,71% menjadi Rp187,68 miliar. Begitu juga dengan beban umum dan administrasi yang turun 13,62% menjadi Rp91,13 miliar. Sementara itu, beban keuangan menurun 18,91% menjadi Rp60 juta pada Juni 2020.

        Direktur Keuangan Sido Muncul, Leonard, mengungkapkan bahwa Sido Muncul optimis kinerja positif akan bertahan sepanjang tahun ini. Ia menyebut, sampai dengan akhir tahun 2020, Sido Muncul menargetkan pendapatan dan laba tumbuh masing-masing satu digit dan dua digit.

        "Dengan melihat raihan di semester I 2020, kami menargetkan mampu meraih pertumbuhan double digit dari sisi laba bersih, dan tumbuh satu digit dari sisi pendapatan," ungkapnya pada Rabu, 27 Agustus 2020 lalu.

        4. Kalbe Farma (10,25%)

        Pencapaian kinerja keuangan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dapat dikatakan sangat positif sepanjang semester pertama tahun 2020. Bagaimana tidak, emiten farmasi ini mengantongi laba bersih sebesar Rp1,39 triliun pada paruh pertama tahun ini. Capaian tersebut melonjak 10,25% dari tahun sebelumnya yang hanya Rp1,26 triliun. 

        Persentase kenaikan laba tercatat lebih tinggi dari kenaikan penjualan yang hanya 3,81% secara tahun ke tahun (yoy). Jika pada Juni 2019 lalu Kalbe Farma membukukan penjualan sebesar Rp11,18 triliun, tahun ini meningkat menjadi Rp11,60 triliun. 

        Baca Juga: Kalbe Farma Bentuk Anak Perusahaan Baru, Gelontorkan Modal Sebesar....

        Segmen distribusi dan logistik menjadi kontributor terbesar bagi pendapatan Kalbe Farma dengan porsi mencapai 32,4% dari total penjualan. Per Juni 2020, segmen ini mengantongi dana Rp3,75 triliun atau tumbuh 10,1% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp3,41 triliun. Kontributor berikutnya adalah segmen produk kesehatan yang menyumbang 17,9% dari total penjualan atau setara dengan Rp2,07 triliun, meningkat 6,6% dibandingkan tahun sebelumnya.

        Capaian positif juga ditorehkan oleh divisi nutrisi dengan penjualan yang meningkat 2,2% menjadi Rp3,21 triliun. Untuk divisi obat resep, penjualan tumbuh lebih tinggi 4,2% menjadi Rp2,57 triliun pada semester I 2020.

        Direktur Keuangan Kalbe Farma, Bernadus Karmin Winata, mengungkapkan bahwa hal ini menjadi capaian yang positif bagi perusahaan ketika perekonomian Indonesia tertekan oleh pandemi Covid-19.

        "Walaupun dampak Covid-19 terhadap makroekonomi Indonesia di kuartal kedua tahun 2020 cukup menantang, Kalbe Farma dapat mempertahankan pertumbuhan penjualan dan laba bersih yang positif dan stabil," pungkasnya dalam keterangan tertulis, dikutip pada Rabu, 16 September 2020. 

        Ia menambahkan, guna merespons situasi saat ini, Kalbe Farma berkomitmen untuk mempertahankan tingkat laba melalui strategi pengelolaan portofolio produk, efektivitas penjualan dan pemasaran, transformasi pemanfaatan teknologi digital, dan monitoring biaya operasional.

        "Dalam mendukung pemerintah dan masyarakat untuk dapat melawan pandemi, Kalbe Farma berkontribusi di dalam menyediakan PCR test untuk rumah sakit rujukan pemerintah, di dalam uji klinis produk herbal Immunomodulator, yaitu H2 (Health and Happiness Cordyceps Militaris) dan Fatigon Promuno serta melakukan uji klinis vaksin Covid-19 di Indonesia, bekerja sama dengan perusahaan dari Korea Selatan, Genexine," sambungnya.

        5. Kimia Farma (1,72%)

        PT Kimia Farma Tbk (KAEF) sebagai perusahaan farmasi BUMN turut menjadi ujung tombak bagi pemerintah dalam menangani virus Covid-19 di Indonesia. Banyak dilibatkan dalam penemuan vaksin dan penyediaan alat kesehatan seperti masker, kinerja keuangan Kimia Farma pun dikut terdongkrak. 

        Dalam enam bulan pertama tahun 2020, Kimia Farma membukukan laba bersih sebesar Rp48,57 miliar. Angka tersebut tumbuh 1,72% dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp47,75 miliar. Penjualan yang meningkat menjadi penopang utama terhadap capaian laba Kimia Farma. 

        Per Juni 2020, penjualan Kimia Farma tumbuh 3,6% dari Rp4,52 triliun menjadi Rp4,69 triliun. Penjualan produk pihak ketika menjadi kontributor terbesar dengan kenaikan 9,12% dari Rp2,82 triliun pada 2019 menjadi Rp3,08 triliun pada 2020. Lebih dari setengah penjualan tersebut disumbang oleh produk obat ethical yang angkanya naik 5,85% dari Rp1,19 triliun menjadi Rp1,26 triliun.

        Sementara itu, penjualan produk dari Kimia Farma sendiri tercatat menurun 5,6% dari Rp1,69 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp1,60 triliun pada Juni 2020 ini. Dalam pos tersebut, penjualan obat generik Kimia Farma mengalami lonjakan tinggi, yakni 10,06% menjadi Rp739,12 miliar pada semester I 2020. 

        Bersamaan dengan hal itu, keuntungan Kimia Farma harus tertahan oleh beban pokok penjualan yang membengkak 1,04% dari Rp2,86 triliun pada tahun lalu menjadi Rp2,89 triliun pada tahun ini. Beban usaha juga mengalami peningkatan lebih tinggi pada periode tersebut, yakni 4,63% dari Rp1,44 triliun menjadi Rp1,51 triliun. Begitu pun dengan beban keuangan yang peningkatannya mencapai 30,52% menjadi Rp293,2 miliar pada Juni tahun ini.

        Beberapa waktu lalu, Direktur Kimia Farma, yakni Verdi Budidarmo, mengamini bahwa produk kesehatan mengalami peningkatan permintaan di tengah pandemi Covid-19. Hal itu pula yang mendongkrak pendapatan dan keuntungan usaha bagi Kimia Farma selama krisis kesehatan melanda sejak awal tahun lalu.

        "Covid-19 telah menyebabkan permintaan dan kebutuhan produk kesehatan meningkat sehingga akhirnya turut berdampak terhadap pendapatan Kimia Farma," pungkasnya seperti dilansir dari Kanalkalimantan.com.

        6. Phapros (-45,10%)

        Walau dianggap menjadi sektor paling kebal terhadap tekanan Covid-19, itu tak menjamin seluruh emiten bisa mendulang kinerja positif pada semester pertama 2020. Buktinya, kinerja keuangan PT Phapros Tbk (PEHA) menyusut, khususnya laba bersih yang turun hingga 45,10% dari Rp48,95 miliar pada Juni 2019 menjadi Rp26,87 miliar pada Juni 2020.

        Amblasnya laba bersih sejalan dengan capaian laba kotor yang terkontraksi 17,22% dari Rp296,38 miliar menjadi hanya Rp245,34 miliar pada semester pertama tahun ini. Penjualan yang turun dan peningkatan sejumlah pos beban menjadi faktor di balik tergerusnya keuntungan perusahaan.

        Dilansir dari laporan keuangan Phapros, emiten tersebut membukukan penurunan penjualan sebesar 17,78% dari Rp552,11 miliar pada Juni 2019 menjadi Rp453,92 miliar pada Juni 2020. Penjualan dari pihak berelasi mendominasi penjualan Phapros, yakni mencapai Rp425,87 miliar. Itu pun turun 19,39% dari tahun lalu yang sebesar Rp528,35 miliar. Meski begitu, penjualan dari pihak ketiga tercatat mengalami kenaikan 15,29% dari Rp23,76 miliar pada paruh pertama tahun lalu menjadi Rp28,05 pada paruh pertama tahun ini.

        Sementara itu, kinerja keuangan kian tertekan oleh membengkaknya beban keuangan sebesar 33,84% dari Rp34,01 miliar pada tahun lalu menjadi Rp45,52 miliar pada tahun ini. Untungnya, beban pokok penjualan dapat sedikit ditekan sebesar 18,43% dari Rp255,72 miliar menjadi Rp208,58 miliar pada periode tahun ini.

        Pada kesempatan beberapa waktu lalu, Direktur Keuangan Phapros, yakni Heru Marsono, mengungkapkan bahwa perusahaan optimis dapat mencapai target pertumbuhan pendapatan dan laba sebesar 10% sepanjang tahun ini. Guna mencapai target tersebut, manajemen menyiapkan sejumlah strategi, salah satunya dengan menggenjot penjualan produk yang potensial pada masa pandemi seperti saat ini, mulai dari cairan pemebersih tangan bermerek Cami-Tizer hingga vitamin C.

        "Di samping itu, kami juga telah memasarkan vitamin C dengan merek dagang Merzavit-C 500," pungkasnya secara virtual pada 28 Juli 2020 lalu.

        7. Indofarma (-80,87%)

        Kendati tak mengantongi keuntungan bersih, kinerja PT Indofarma Tbk (INAF) membaik pada semester pertama tahun 2020. Hal itu tercermin melalui kerugian bersih yang terpangkas hingga 80,87% dari Rp24,36 miliar pada Juni 2019 menjadi Rp4,66 miliar pada Juni 2020. Menurunnya rugi secara drastis tersebut didukung oleh penjualan INAF yang tumbuh positif pada periode tersebut.

        Dilansir dari laporan keuangan perusahaan, INAF membukukan penjualan bersih sebesar Rp447,29 miliar, meningkat 21,45% dari tahun sebelumnya yang hanya Rp368,81 miliar. Seluruh dana tersebut bersumber dari penjualan produk obat yang tumbuh 25,54% menjadi Rp263,79 miliar dan penjualan produk alat kesehatan yang tumbuh 15,80% menjadi Rp183,50 miliar pada paruh pertama tahun ini.

        Baca Juga: Erick Bawa Kabar Baik: Kimia Farma sampai Indofarma Panen Berkah!

        Sejumlah faktor masih membebani kinerja INAF sehingga belum dapat bebas dari jeratan kerugian. Misalnya saja, INAF menanggung beban pokok penjualan yang lebih besar pada semester I 2020 ini, yaitu 27,66% lebih tinggi dari Rp256,83 miliar menjadi Rp327,87 miliar. Untungnya, INAF mampu menekan pengeluaran untuk pos beban lainnya.

        Per Juni 2020, beban penjualan turun 18,04% dari Rp70,97 miliar menjadi Rp60,12 miliar, sedangkan beban umum dan administrasi turun 4,78% dari Rp49,90 miliar menjadi Rp47,62 miliar pada periode tersebut. Pada saat yang bersamaan, INAF menekan beban keuangan sebesar 14,47% dari Rp21,85 miliar menjadi Rp18,69 miliar.

        Sebagai informasi, INAF telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Salah satu upaya itu adalah mengembangkan produk baru yang meliputi teledoc, inbody test, emergency ventilator, medical grade masker, hand sanitizer dan mesin hemodialysis pada Juli 2020 lalu. Pengembangan produk baru tersebut dilakukan atas kerja sama antara INAF dan beberapa mitra yang dimiliki perusahaan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Lestari Ningsih
        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: